Dr. KARL MAY MUSTANG HITAM jilid 1 I PERTEMUAN DI FIREWOOD Badai sedang mengamuk di hutan pegunungan di atas lereng lembah. Puncak pohon-pohon den diombang-ambingkan oleh angin kencang. Hujan turun dengan lebatnya. Air sebagai dicurahkan dari atas, mengalir melalui batang pohon, lalu berkumpul di bawah menjadi batang air kecil-kecil yang akhirnya bermuara melimpah-limpah di sungai yang mengalir di dasar lembah. Malam itu gelap sekali. Hanya kadang-kadang lereng lembah itu diterangi oleh cahaya halilintar yang seakan-akan kejar-mengejar. Petir yang seakan-akan membelah angkasa menimbulkan bunyi gemuruh yang mengejutkan seluruh isi hutan. Di bagian atas pegunungan itu seluruh alam seakan-akan melepaskan tenaganya, akan tetapi jatuh di bawah, di dalam lembah, semuanya tenang belaka. Angin tidak berembus, pohon-pohonan tidak bergerak, hanya air sungai saja menggelegar dan mendesis-desis sedemikian kerasnya sehingga hanya telinga yang tajam saja dapat mendengar bunyi dua orang berkuda yang berjalan menyusur tepi sungai ke arah hilir. Karena hari gelap, maka mereka tidak dapat dilihat. Sekiranya hari siang maka setiap orang yang bertemu dengan mereka akan tercengang-cengang, bukan oleh pakaian mereka yang ganjil, melainkan oleh karena kedua orang yang menunggang kuda itu badannya sangat tinggi. Yang seorang rambutnya pirang: dibandingkan dengan tinggi badannya maka kepalanya tampaknya kecil sekali. Matanya memandang dengan ramah-tamah; hidungnya melengkung ke atas pada ujungnya, sehingga dengan demikian maka muka orang itu menjadi lebih serasi bagi seorang kanak-kanak yang berumur empat tahun. Mulutnya lebar sekali sehingga ujung dan pangkalnya hampir sampai kepada telinganya apabila ia tertawa. Pipi dan dagunya tidak berambut, suatu hal yang jarang terdapat pada orang kulit putih. Ia memakai baju kulit dan celana dari kulit pula. Kakinya dan betisnya tertutup oleh sepatu lars yang tinggi; kepalanya dilindungi oleh topi jerami yang pinggirnya melengkung ke bawah, sehingga air hujan tidak membasahi mukanya. Pada punggungnya ia menyandang bedil dengan larasnya ke arah bawah. Kuda yang ditungganginya kelihatannya sangat kuat; umurnya sudah kira-kira lima belas tahun. Penunggang kuda yang seorang lagi rambutnya kehitam-hitaman, sebagian tertutupi oleh sebuah peci yang terbuat daripada kulit binatang yang berbulu tebal. Mukanya sempit dan panjang bentuknya; hidungnyapun sempit dan panjang juga. Dagu dan sebagian dari pipinya tertutupi oleh janggut yang lebat. Ia menyandang bedil berlaras dua. Ia mengendarai seekor mustang* (*Kuda prairi setengah liar) yang sudah terlatih, yang umurnya kira-kira sudah lima belas tahun juga. Lain daripada bedil, mereka masih membawa pisau dan pistol. Itu tidak mengherankan, sebab daerah Wild West ini terkenal sebagai daerah yang sangat berbahaya Kedua orang penunggang kuda itu sedikitpun tidak menghiraukan hujan yang turun dengan lebatnya. Walaupun hari amat gelap, tetapi mereka tidak merasa khawatir akan jalan yang ditempuh oleh kuda mereka, sebab kedua binatang itu sudah terlatih baik dan mempunyai bakat serta pancaindera yang tajam sehingga mereka mengetahui di mana mereka harus berjalan. Mereka bercakap-cakap dengan tenang sekali, akan tetapi sekiranya hari agak terang maka mereka akan melihat bahwa kedua orang itu saling pandang-memandang, sebab mereka baru saja berkenalan. Belum ada sejam yang lalu mereka bertemu secara kebetulan dan oleh karena mereka mempunyai tujuan yang sama, yakni perkemahan di Firewood, maka mereka memutuskan untuk berjalan bersama-sama. Mereka tidak tanya-menanyakan nama dan keadaan mereka. Percakapan mereka hanyalah terbatas pada soal-soal yang umum saja. Tiba-tiba mereka mendengar bunyi guntur menggelegar; sesaat itu juga lembah itu menjadi terang oleh cahaya halilintar. Orang yang pirang rambutnya berseru: "Astaga! Guntur sudah turun sampai ke lembah. Hebat sekali bunyinya. Rindu saya mengenangkan betapa enak dan hangatnya kamar saya di rumah ahli waris Timpe!" Mendengar dua perkataan yang terakhir itu, teman seperjalanannya dengan tidak disengajanya menahan tali kekang kudanya dan ia sudah membuka mulutnya untuk mengucapkan pertanyaan, akan tetapi maksudnya itu diurungkan dan kudanya disuruhnya berjalan terus. Ia sadar bahwa di daerah di sebelah Barat sungai Mississippi orang harus bersikap hati-hati, lebih-lebih terhadap perkataan yang diucapkannya. Mereka bercakap-cakap terus, akan tetapi hanya singkat saja, sebab kini mereka harus lebih memperhatikan tempat di mana mereka berjalan. Sekonyong-konyong sungai membelok ke arah tepi mereka dan di tempat itu tanah di pinggir sungai sudah dilalui air pula. Kuda tunggangan orang yang pirang rambutnya itu tergelincir jatuh ke dalam air. Untung tempat itu dangkal, sehingga dengan sekali lompat kuda itu sudah sampai ke tanah lagi. "Keparat," seru penunggangnya. "Pakaian saya sudah basah kuyup oleh air hujan. Apa gunanya saya lebih basah lagi oleh air sungai! Hampir saja saya jatuh ke dalam banjir, seperti tempo hari di kampung ahli waris Timpe." Ia lebih menepi lagi, lalu berjalan terus. Temannya menyusulnya dengan berdiam diri, akan tetapi sebentar kemudian ia berkata: "Ahli waris Timpe? Nama apakah itu, Sir?" "Anda tidak tahu?" jawabnya. "Tidak." "Hra! Ajaib! Kenalan dan teman saya semuanya mengetahui." "Anda lupa bahwa kita baru saja berkenalan. Baru sejam yang lalu kita bertemu pertama kali." "Itu benar. Sebab itu Anda tak dapat mengetahui siapa atau apa ahli waris Timpe itu. Akan tetapi barangkali Anda akan mengetahuinya." "Barangkali?" "Ya." "Bilamana?" "Jikalau kita berjalan lebih lama." "Tidak bolehkah saya mengetahuinya sekarang, Sir?" "Sekarang? Mengapa?" "Sebab nama saya Timpe." "Apa? Nama Anda Timpe?" "Ya." "Betulkah itu?" "Apa gunanya saya mengaku mempunyai nama yang bukan nama saya?" "Ajaib! Sudah bertahun-tahun saya mencari orang yang bernama Timpe, di pegunungan-pegunungan dan lembah-lembah di sebelah Timur dan di sebelah Barat, pada siang hari dan malam hari, pada cuaca baik dan cuaca buruk dan kini, setelah saya sudah putus asa, dengan tiba-tiba saja orang itu berjalan di sisi saya tanpa mengatakan kepada saya siapa namanya." "Anda mencari saya?" tanya temannya itu dengan keheran-heranan. "Ya." "Sebab apa?" "Sebab warisan! Sebab apa lagi?" "Warisan? Hm! Siapakah Anda, Sir?" "Nama saya Timpe juga." "Timpe dari daerah mana?" "Dari seberang." "Jerman?" "Tentu saja! Bukankah itu sudah sewajarnya? Di mana lagi seorang Timpe dapat dilahirkan kalau tidak di Jerman?" "Di benua lain? Sebab saya dilahirkan di Amerika." "Tetapi orang tua Anda tentu orang Jerman!" "Ayah saya seorang Jerman." "Kalau begitu Anda tentu pandai berbahasa Jerman?" "Ya." "Mengapa Anda tidak berbahasa Jerman apabila Anda bertemu dengan seorang Jerman?" "Sabar, Sir! Tadi saya belum tahu bahwa Anda seorang Jerman." "Tetapi kini Anda tahu! Saya seorang Jerman, bahkan seorang Timpe. Tentu saja saya menghendaki bahwa setiap orang Jerman akan berbicara dengan saya dalam bahasa Jerman." "Di tempat mana Anda dilahirkan?" "Di Hof, di tanah Beieren." "Kalau begitu kita tidak ada bersangkut-paut, sebab ayah saya berasal dari Plauen di Voigtland." "O, tidak ada bersangkut-paut kata Anda. Ayah saya pun berasal dari Plauen, akan tetapi pindah dari sana ke Hof." Orang yang hitam rambutnya itu segera menahan kudanya. Hujan sudah berhenti dan awan gelap sudah tersapu oleh angin badai. Karena itu maka bintang sudah mulai gemerlapan di langit, sehingga kedua orang itu dapat melihat muka masing-masing. "Pindah dari Plauen ke Hof?" tanyanya. "Kalau begitu tidak saja mungkin, melainkan sangat boleh jadi kita masih famili, sebab nama Timpe itu tidak seberapa umum sebagai nama Muller, Schmidt, Schulz dan lain-lain. Apa pekerjaan ayah Anda?" "Tukang bedil, dan itupun pekerjaan saya juga." "Cocok, cocok! Ganjil benar nasib kita. Berasal dari satu daerah, bahkan masih famili, akan tetapi bertemu pertama kali di rantau orang. Tetapi jangan kita berhenti di sini; hujan dan badai mungkin akan balik kembali dan jalan yang akan kita tempuh barangkali masih sukar sekali. Marilah kita berjalan cepat-cepat. Nanti, apabila kita sampai ke tujuan kita, dapat kita melanjutkan percakapan kita." Mereka berjalan terus. Lembah itu makin lama makin menjadi sempit dan tempat antara sungai dan dinding lembah yang sangat curam itu hanyalah sempit sekali. Lagi pula tempat itu ditumbuhi oleh semak-semak. Sekiranya hari masih gelap seperti tadi, maka tak mungkin mereka melanjutkan perjalanannya. Kemudian lembah menjadi agak lebar dan setengah jam sesudah itu mereka melintasi sebuah jalan pegunungan dan tidak lama kemudian sampailah mereka ke sebuah tempat yang datar, yang ditumbuhi oleh hutan pohon den raksasa. Di situlah letak perkemahan Firewood. Tempat yang datar itu sesungguhnya merupakan pertemuan dua buah lembah: yang satu ialah lembah sungai yang ditempuh oleh kedua Timpe itu, yang lain, yang hampir tegak lurus arahnya pada lembah yang pertama, ialah lembah yang dilalui oleh jalan kereta api yang sedang didirikan oleh penghuni perkemahan Firewood. Di tempat itu berserakan berpuluh-puluh batang pohon den yang sudah ditebang. Batangnya digergaji menjadi papan dan dahan-dahannya yang besar dipotong-potong menjadi balok yang akan dipergunakan sebagai bantalan untuk jalan kereta api. Dahan-dahan yang kecil serta ranting dipergunakan orang sebagai kayu api. Para penghuni perkemahan itu sedang membuat jembatan di atas sungai. Jembatan itu rupa-rupanya sudah hampir selesai. Sebuah mesin penggergajian yang besar mengolah kayu yang sudah terkumpulkan. Di tepi lembah terdapat beberapa buah gua buatan orang, yaitu tempat di mana para pekerja menggali batu yang dipergunakannya sebagai bahan untuk membuat bagian bawah jembatan. Di sebelah kiri ada beberapa barak yang diperbuat daripada balok dan papan. Barak-barak itu ialah tempat tinggal bagi para pekerja, gudang tempat mereka menyimpan bekal bahan makanan dan ada pula yang dipergunakan untuk menyimpan alat perkakas. Sebuah daripada barak-barak itu sangat besar dan mempunyai empat buah cerobong api. Dari beberapa buah jendela memancarlah cahaya api. Rupa-rupanya itulah barak tempat tinggal para pekerja. Kedua orang yang baru datang itu segera menuju ke barak yang diterangi lampu itu. Sudah dari jauh mereka mendengar suara orang bercakap-cakap dan bersenda gurau. Rupa-rupanya banyak sekali penghuninya. Demi mereka melalui jendela-jendela barak itu maka mereka sudah dapat mencium bau brandy. Mereka turun, lalu menambatkan kuda mereka pada tonggak yang rupa-rupanya memang disediakan untuk menambatkan kuda. Baru saja mereka hendak masuk, maka kebetulan ada orang keluar. Orang itu sedang berseru ke arah kamar: "Kereta api akan segera datang. Barangkali akan membawa surat dan koran bagi Anda sekalian." Kemudian orang itu memalingkan kepalanya, lalu melihat dua orang asing yang baru datang. Ia berhenti di muka pintu seraya mengamat-amati mereka. "Good evening, Sir," demikianlah Timpe yang pirang rambutnya memberi salam. "Kami basah kuyup kehujanan. Adakah di sini tempat di mana kami dapat berdiang agar pakaian kami menjadi kering?" "Ya," jawabnya. "Bahkan di sini ada tempat juga di mana Anda dapat bermalam, itupun sekiranya Anda tidak termasuk orang yang mempunyai maksud yang tidak baik." "Anda tak usah khawatir, Sir! Kami adalah orang yang jujur, yang tak hendak merugikan Anda, melainkan bersedia membayar untuk apa yang kami peroleh di sini." "Silakan masuk. Di sebelah kiri ada sebuah kamar di mana Anda dapat membeli apa-apa yang Anda perlukan. Katakanlah kepada penjaga kantin bahwa Anda sudah mendapat izin dari insinyur untuk tinggal di sini. Sebentar lagi saya akan kembali." Insinyur itu berjalan terus dan merekapun masuk. Barak itu sesungguhnya hanya mempunyai sebuah ruang besar. Di sana ada sejumlah meja, kursi dan bangku yang dibuat daripada papan kasar. Di sebelah dinding ada beberapa tempat tidur dari papan juga yang hanya diisi dengan rumput kering. Untuk penerangan dan untuk memanaskan ruang besar itu ada tersedia empat buah tungku api yang dewasa itu sedang dinyalakan besar-besar. Cahaya yang mereka lihat dari luar tadi dan yang mereka sangka cahaya lampu, ternyata berasal dari api unggun tersebut. Di ruang besar itu ada kira-kira dua ratus orang, semuanya pekerja kereta api. Rambut mereka berkuncit, warna kulit mereka kuning dan mata mereka sipit. Dengan keheran-heranan mereka berpaling ke arah dua orang yang baru datang itu. "Astaga! Orang Tionghoa," kata Timpe yang hitam rambutnya. "Marilah kita masuk ke kamar kecil itu." Yang disebutnya kamar kecil itu sebenarnya tak lain daripada sebagian dari ruang besar yang terpisah oleh dinding papan setinggi orang. Di kamar itu ada pula beberapa buah meja, kursi dan bangku. Di sana ada terkumpul beberapa pekerja kulit putih yang riuh bercakap-cakap sambil merokok dan minum. Demi kedua orang tamu itu masuk, maka mereka berhenti bercakap-cakap seraya menoleh ke arah dua orang tamu yang menuju ke bupet. "Rail-roaders*?" (*Pekerja kereta api) tanya penjaga kantin sambil menjawab salam tamu-tamu itu dengan menganggukkan kepalanya. "Bukan, Sir," jawab yang berambut pirang. "Kami bukan saingan daripada tuan-tuan yang duduk di sini. Kedatangan kami ini hanyalah untuk mencari tempat di mana kami dapat menjemur pakaian kami yang basah ini Tuan insinyur mengizinkan kami masuk." "Anda dapat membayar?" tanya penjaga kantin itu sambil mengamat-amati kedua orang tamu. "Ya." "Kalau begitu Anda boleh membeli segala yang Anda perlukan dan Anda boleh juga menyewa tempat tidur apabila Anda hendak bermalam di sini. Silakan duduk pada meja di dekat api sebelah sana itu; di sana pakaian Anda akan segera kering. Meja yang sebelah sini disediakan untuk para pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya." "O, jadi kami ini Anda golongkan orang yang rendah pangkatnya. Saya kira badan kami cukup tinggi. Akan tetapi tidak mengapa. Bawakanlah kami air panas, gula dan rum. Perut kami sudah kedinginan juga." Mereka pergi duduk pada meja yang ditunjuk oleh penjaga bupet tadi. Karena tempat itu dekat benar pada api unggun, maka pakaian mereka sebentar saja sudah kering. Penjaga kantin segera mengantarkan pesanan mereka. Pekerja-pekerja kulit putih segera melanjutkan percakapan mereka dengan ramai sekali. Pada meja yang disediakan untuk pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya hanya duduk seorang saja: orang muda yang usianya belum ada tiga puluh tahun, yang berpakaian sebagai seorang pemburu kulit putih, akan tetapi menilik warna kulitnya dan bentuk mukanya pasti bukan sebenarnya orang kulit putih. Ia seorang Mestis, peranakan kulit putih dan orang Indian. Badannya kuat; lengan dan kakinya lemah lembut, rautan mukanya cerdik, akan tetapi pandang matanya mengingatkan pada seekor kucing liar yang sedang mengintai mangsanya. Tampaknya ia sama sekali tidak mengindahkan kedua orang asing itu, walaupun beberapa kali ia mengerling ke arah mereka sambil memasang telinganya untuk mendengarkan apa yang dipercakapkan itu, sebab kedua orang yang baru datang itu berbicara dalam bahasa yang tidak dipahaminya, yaitu bahasa Jerman. Orang yang hitam rambutnya itu mengangkat gelasnya seraya mengajak temannya minum bersama demi kesehatan mereka. Sesudah itu ia berkata: "Demikianlah kita sudah bersalam-salaman secara kebiasaan kita sebagai orang Jerman. Marilah kini kita melanjutkan percakapan kita yang terputus tadi. Jadi Anda adalah tukang bedil, begitu juga ayah Anda. Menilik pekerjaan Anda maka sudah tentu Anda pandai sekali menembak. Andaikata kita sungguh-sungguh famili, maka saya mau berterus-terang bahwa masih saya sangsikan adakah saya boleh memandang Anda sebagai famili." "Sebab apa?" "Sebab warisan." "Saya tidak mengerti." "Dalam hal warisan itu saya sudah tertipu." "Saya begitu juga!" "Betulkah? Anda tidak ada menerima bagian Anda?" "Tidak sepeserpun." "Akan tetapi saya mendengar bahwa para ahli waris di Jerman sudah menerima sejumlah uang yang besar sekali." "Ya, itu ahli waris Timpe yang tinggal di Plauen, tetapi saya tidak ada menerima apa-apa, walaupun saya seorang Timpe yang sejati." "Perkenankanlah saya menyelidiki adakah Anda benar-benar seorang Timpe yang sejati. Bagaimana nama lengkap Anda?" "Casimir Obadja Timpe." "Dan ayah Anda?" "Rehabeam Zacharias Timpe." "Berapa orang saudara laki-laki ayah Anda?" "Lima orang. Tiga orang yang paling muda pergi ke Amerika. Mereka menyangka bahwa di dunia baru mereka akan menjadi kaya raya dalam waktu yang singkat, sebab mereka menyangka bahwa orang Amerika memesan banyak bedil. Ketiga orang bersaudara itu semuanya tukang bedil." "Siapa nama saudara ayah Anda yang tinggal di Plauen?" "Johannes Daniel. Ia sudah meninggal dan meninggalkan dua orang anak laki-laki: Petrus Micha dan Markus Absalom. Kedua orang anak laki-laki inilah yang sudah menerima warisan sebanyak seratus ribu thaler, yang dikirimkan orang dari kota Fayette di Alabama." "Cocok, cocok sekali! Pengetahuan Anda tentang nama tempat dan nama orang itu membuktikan bahwa Anda benar-benar saudara sepupu saya." "O, saya ada juga mempunyai surat bukti yang lengkap, semuanya saya simpan di bawah baju kulit saya. Anda boleh melihatnya..." "Jangan sekarang, jangan sekarang," demikian Hasael menyela. "Saya percaya. Tahukah Anda apa sebabnya maka kelima orang bersaudara itu beserta keturunannya semuanya mempunyai nama yang dikutip dari kitab suci?" "Ya, itu kebiasaan nenek moyang kita. Tidak seorangpun kemudian menyimpang dari kebiasaan itu." "Benar, di sini pun ketiga bersaudara itu tidak menyimpang dari kebiasaan yang Anda sebut tadi. Ayah saya ialah yang ketiga dari kelima saudara tadi. Namanya ialah David Makkabeus. Ia menetap di New York. Nama saya Hasael Benyamin. Kedua adik ayah saya pergi mengadu untungnya ke daerah Barat, lalu menetap di Fayette di negara-bagian Alabama. Yang paling muda bernama Jozef Habakuk. Ia meninggal tanpa mempunyai anak. Paman Jozef inilah yang meninggalkan warisan besar itu. Yang nomor empat, Tobias Holofernes, meninggal di Fayette juga. Ia mempunyai seorang anak laki-laki, Nahum Samuel namanya. Dialah yang menipu kita." "Bagaimana letak soal itu?" "Anda tidak mengetahuinya? Mula-mula ayah saya seringkah berkirim-kiriman surat dengan kedua saudaranya yang tinggal di Fayette, akan tetapi lambat-laun surat-menyurat itu menjadi jarang sekali dan akhirnya berhenti sama sekali. Maklumlah, Amerika ini luas sekali, sedemikian luasnya sehingga saudara kandungpun akhirnya menjadi asing. Sepeninggal ayah saya, saya melanjutkan perusahaan ayah, akan tetapi pendapatan saya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Tiba-tiba di Hoboken saya bertemu dengan seorang Jerman, imigran dari Plauen di Voigtland. Tentu saja saya minta keterangan tentang keadaan famili saya yang tinggal di Jerman. Alangkah heran saya demi saya mendengar bahwa mereka telah menerima warisan dari paman Habakuk sebesar lebih daripada seratus ribu thaler. Anda dapat membayangkan betapa marah saya bahwa saya tidak menerima bagian saya. Bukankah saya mempunyai hak juga atas warisan itu? Lebih daripada sepuluh kali saya berkirim surat ke Fayette, tetapi tidak sekali juga mendapat jawab. Kemudian saya menjual perusahaan saya, sebab saya sudah membulatkan hati saya untuk pergi ke Fayette guna menyelidiki soal warisan itu." "Tepat benar tindakan Anda. Bagaimana kesudahannya?" "Sial, burung itu sudah terbang, sudah menghilang tanpa meninggalkan jejak." "Burung yang mana?" "Bodoh sekali Anda! Bukan burung sebenar burung, melainkan saudara sepupu kita Nahum Samuel, yang sudah melarikan warisan itu. Di Fayette saya mendengar bahwa paman Habakuk bukan orang miskin, akan tetapi tidak seorangpun mengetahui atau menduga bahwa ia kaya-raya. Rupa-rupanya ia sangat kikir serta selalu menyembunyikan kekayaannya. Kakaknya, Tobias Holofernes, meninggal dalam kemiskinan. Ia, meninggalkan seorang anak laki-laki, saudara sepupu kita Nahum Samuel. Nahum dipungut oleh paman Habakuk serta diajak mengelola perusahaannya. Demi paman Habakuk meninggal, maka ia mengirimkan seratus ribu thaler Plauen, akan tetapi bagian saya telah dilarikannya." "Barangkali bagian saya juga." "Pasti!" "Bangsat! Ayah saya meninggalkan Plauen oleh karena ia bertengkar dengan saudaranya yang menyaingi perusahaannya. Permusuhan itu makin lama makin menjadi-jadi. Akhirnya mereka tak mau tahu-menahu. Ayah saya meninggal, demikian juga saudaranya di Plauen. Kemudian saya mendapat surat dari seorang anak paman saya di Plauen bahwa mereka telah mendapat warisan sebanyak seratus ribu thaler dari paman Habakuk di Amerika. Segera saya pergi ke Plauen untuk mendapat keterangan lebih lanjut. Segenap penduduk Plauen rupa-rupanya sudah mengetahui bahwa saudara-saudara sepupu saya telah mendapat warisan besar, sebab mereka oleh setiap orang disebut ahli waris Timpe. Mereka sudah tidak bekerja lagi dan kini hidup sebagai milioner. Saya diterima dengan baik sekali dan dimintanya tinggal pada mereka beberapa pekan lamanya. Mereka tidak menyebut-nyebut adanya permusuhan antara ayah mereka dan ayah saya. Saya dijamu dengan berlimpah-limpahan, akan tetapi apabila saya bertanya tentang warisan paman Habakuk, maka jawab mereka hanyalah bahwa mereka menerima kiriman dari Amerika untuk sekalian anak ayahnya. Tentang bagian saya mereka tidak mengetahui sedikitpun. Maka saya mengambil keputusan untuk menyelidiki soal itu pada pangkalnya. Saya menjual perusahaan saya, lalu pergi ke Amerika. Dengan langsung saya menuju ke Fayette." "Apa yang Anda dapati di sana?" "Saya ditertawakan orang. Kata orang kedua Timpe itu tidak pernah kaya." "Bohong belaka! Dewasa itu Anda sudah mengerti bahasa Inggeris?" "Belum." "Karena itulah maka Anda diperolok-olok. Apa yang Anda perbuat kemudian?" "Saya pergi ke St. Louis di mana saya hendak bekerja pada Mr. Henry tukang bedil yang sangat masyhur itu. Akan tetapi di kota Napoleon, yaitu kota yang terletak pada pertemuan sungai Arkansas dan sungai Mississippi, saya berkenalan dengan beberapa orang pemburu prairi. Karena mereka memerlukan kecakapan saya sebagai tukang bedil, maka diajaknya saya pergi ke Rocky Mountains. Dengan demikian maka saya menjadi seorang pemburu juga." "Anda merasa menyesal?" "Sekali-kali tidak! Tentu saja saya akan merasa lebih puas sekiranya saya memperoleh bagian saya seratus ribu thaler dan dapat hidup bermalas-malasan sebagai para ahli waris Timpe." "Hra! Siapa tahu, saat itu barangkali masih akan tiba juga." "Kemudian terpikir juga oleh saya bahwa paman Habakuk itu benar-benar kaya-raya, akan tetapi harta kekayaannya telah dilarikan oleh Nahum Samuel. Itulah sebabnya maka saya beberapa tahun berturut-turut mencari jejak Nahum, akan tetapi sia-sia saja." "Begitu juga saya, akan tetapi kini saya sudah mendapatkan jejaknya." "Betul? Anda sudah mendapatkan jejaknya?" seru Casimir yang segera melompat dari tempat duduknya sehingga semua orang menoleh ke arahnya. "Tenang, tenang!" kata Hasael. "Anda ini rupanya pemarah benar. Dengarkanlah! Dari seorang yang dapat saya percayai saya mendengar bahwa seseorang bernama Nahum Samuel Timpe, yang dahulu pekerjaannya tukang bedil, kini sudah menjadi kaya-raya dan tinggal di Santa-Fe." "Aha, Santa-Fe! Kita harus segera pergi ke sana, kita berdua, Anda dan saya." "Saya setuju sekali. Tentu saja segera saya berusaha mencari dia. Ia akan saya paksa memberikan kembali bagian saya beserta bunganya. Betapa girang hati saya kini sudah bertemu dengan Anda, sebab bersama-sama usaha kita tentu akan lebih ringan. Kita berdua adalah pemburu prairi, jadi apabila kita ancam dengan undang-undang prairi tentu dia akan menjadi takut dan mau memberikan bagian kita. Bukankah begitu?" "Tentu!" kata Casimir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Untung benar saya bertemu dengan Anda. Anda... Anda... ah, saudara sepupuku, bukankah ganjil benar bahwa kita selalu bercakap-cakap seakan-akan kita ini orang asing, padahal kita adalah famili yang akrab?" "Ya, benar." "Kalau begitu, marilah kita segera mempergunakan kata engkau dan aku. Mufakat?" "Mufakat sekali. Angkatlah gelasmu, biar kita minum bersama sekali lagi demi persaudaraan kita." "Demi kesehatanmu, saudaraku Hasael!" "Atas kesehatanmu juga! Tetapi... mengapa Hasael? Tiadakah engkau tahu bahwa nama orang umumnya disingkat di Amerika ini? Orang biasa memanggil sahabatnya Tim, Jim, Ben atau Bob; tidak biasa orang di sini melafalkan nama orang selengkapnya. Ayah saya selalu memanggil saya Has, bukan Hasael. Karena itu saya harap engkau akan memanggil saya Has juga." "Has? Hm! Kalau begitu engkau hendaknya memanggil aku Cas, bukan Casimir!" "Bagus sekali!" "Bagus? Nama itu tidak janggal bagimu?" "Sebaliknya! Nama itu singkat dan enak kedengarannya." "Jadi kita harus pergi ke Santa-Fe!" demikian Has melanjutkan perkataannya. "Tetapi itu tidak mudah, sebab kita harus mengambil jalan yang mengeliling." "Sebab apa?" tanya Has. "Sebab, apabila kita mengambil jalan yang memintas, maka kita harus melalui daerah orang Comanche. Saya tidak ada mendengar bahwa orang-orang kulit merah itu sudah menggali kapak peperangan." "Saya tidak juga, akan tetapi orang-orang Comanche itu terkenal sebagai orang yang tidak dapat dipercayai. Mereka itu sangat benci kepada orang kulit putih. Kemarin saya bertemu dengan seorang penjaja yang baru saja datang dari daerah orang Comanche. Anda tahu bahwa orang kulit merah tidak pernah mengganggu seorang penjaja, oleh karena mereka sangat memerlukan barang dagangannya. Penjaja itu mengatakan kepada saya bahwa Tokvi-Kava* (*Mustang Hitam) sudah meninggalkan kampung halamannya dengan sejumlah besar prajuritnya. Ke mana mereka pergi tidak diketahuinya." "Tokvi-Kava, Mustang Hitam yang terkenal sebagai pembunuh pemburu itu? Dan ia disertai oleh prajurit-prajuritnya? Dan ia tidak mengatakan ke mana ia pergi? Itu suatu tanda bahwa ia mempunyai maksud yang tidak baik. Saya tidak takut akan orang kulit merah akan tetapi seberapa mungkin saya lebih suka menjauhi ketua suku sebengis Mustang Hitam. Kalau begitu saya setuju sekali bahwa kita akan mengambil jalan yang mengeliling. Apa ruginya sekiranya kita datang terlambat barang seminggu. Nahum Samuel kabarnya menetap di sana, jadi ia tentu tidak akan meninggalkan Santa-Fe." "Dan sekiranya ia sudah pergi, maka bagi kita tidaklah sukar untuk menemukan kembali jejaknya, sebab..." Percakapan mereka terhenti, sebab pada saat itu insinyur telah kembali serta membawa dua orang tamu lagi. Karena asyik sekali bercakap-cakap maka Cas dan Has tidak mendengar bunyi kereta api yang datang. Setelah selesai urusannya maka insinyur itu kembali ke barak, ditemani oleh opseter dan kepala gudang. Ia menganggukkan kepalanya ke arah kedua pemburu prairi, lalu pergi duduk dengan dua orang temannya di meja yang disediakan untuk pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya. Orang Mestis yang sudah dari tadi duduk di sana, segera bertanya: "Sir, Anda ada membawa koran?" "Tidak, koran baru datang besok, akan tetapi saya ada membawa kabar lain." "Kabar baik?" "Sayang tidak. Kita harus hati-hati." "Sebab apa?" "Orang sudah menemukan jejak orang kulit merah." Orang peranakan itu mengangkat kepalanya. Dalam pada itu matanya berkilat-kilat menunjukkan kemarahan, akan tetapi suaranya tetap tenang ketika ia berkata: "Itu bukan alasan untuk bersikap hati-hati?" "Tentu saja kita harus waspada." "Ah, Anda lekas benar menjadi cemas. Kita tahu bahwa tidak ada suku Indian yang sudah menggali kapak peperangan. Bahkan sekiranya begitu, maka tidak boleh segera menduga bahwa kita menghadapi musuh apabila kita melihat beberapa jejak orang kulit merah." "Jikalau mereka bukan musuh, maka tidak ada gunanya mereka menyembunyikan diri. Barangsiapa bersembunyi, tentu tidak mempunyai maksud baik, itu sudah jelas bagi saya, walaupun saya bukan pandu atau pemburu prairi." "Justru karena Anda bukan pandu atau pemburu prairi, maka Anda tidak dapat mengetahui adakah orang kulit merah musuh atau sahabat kita. Saya tahu bahwa orang-orang kulit merah tidak bersikap bermusuhan terhadap kita. Barangkali orang-orang Indian yang Anda lihat jejaknya itu melalui perkemahan kita dan tidak sempat untuk singgah di sini." "Tidak sempat? Orang kulit merah selalu mempunyai waktu untuk datang kepada orang kulit putih, walaupun hanya untuk minta-minta saja. Apabila mereka menyembunyikan diri maka mereka tidak mempunyai maksud yang baik. Anda ialah seorang pandu yang cakap sekali mencari jejak dan Anda kenal baik daerah ini. Anda sudah saya angkat sebagai pandu; kewajiban Anda ialah menjaga keamanan kita. Karena itu maka Anda saya minta besok pagi menyelidiki seluruh daerah ini, kalau-kalau ada bahaya mengancam." Muka orang Mestis itu menjadi merah. Rupa-rupanya ia sudah marah, akan tetapi segera ia dapat menguasai diri dan dengan suara yang tenang ia berkata: "Baik, itu akan saya kerjakan, Sir, walaupun saya tahu bahwa itu tidak perlu. Jejak orang Indian hanya membahayakan dalam masa perang. Saya tahu bahwa orang kulit merah kadang-kadang merupakan sahabat yang lebih baik dan lebih setia daripada kebanyakan orang kulit putih." "Pendapat Anda itu membuktikan bahwa Anda orang yang baik hati, akan tetapi saya sudah seringkah mengalami dan saya dapat membuktikan bahwa pendapat Anda itu salah." "Dan saya mempunyai bukti lebih banyak lagi bahwa pendapat saya benar. Adakah orang yang lebih setia kepada Old Shatterhand daripada sahabatnya orang kulit merah yang bernama Winnetou?" "Itu suatu perkecualian. Anda mengenal mereka?" "Saya belum pernah bertemu dengan Winnetou." "Old Shatterhand?" "Belum pernah juga, akan tetapi saya tahu segala perbuatannya." "Anda sudah pernah mendengar nama Tangua, ketua suku orang Kiowa?" "Ya." "Adakah pengkhianat, penjahat yang lebih besar daripada Tangua itu? Ketika Old Shatterhand masih menjadi opseter, maka Tangua menjanjikan perlindungannya, akan tetapi buktinya ialah bahwa ia hendak membunuh Old Shatterhand*. (*Bacalah Kisah Pengembaraan Dr. Kari May: Winnetou Ketua Suku Apache) Old Shatterhand niscaya akan dibunuh oleh Tangua sekiranya orang kulit putih itu bukan orang yang cerdik, tidak bersikap hati-hati dan sekiranya ia bukan orang yang gagah berani dan kuat. Mana kesetiaan orang kulit merah yang Anda puji-puji itu? Kata Anda jejak orang kulit merah hanya berbahaya dalam masa perang. Bukankah orang Sioux-Ogallala sering sekali menyerang kereta api dalam masa damai? Bukankah mereka sudah membunuh laki-laki dan merampas wanita-wanita dalam masa damai? Mereka sudah mendapat hukuman yang selayaknya, bukan dari pasukan pemburu atau dari tentara, melainkan dari dua orang belaka, yakni dari Winnetou dan Old Shatterhand. Ya, sekiranya seorang dari mereka berdua ada di tengah-tengah kita, maka seratus pasang jejak orang Indian tidak akan membuat saya khawatir." "Sir, Anda berlebih-lebihan. Kedua orang itu selalu beruntung. Lain daripada Winnetou dan Old Shatterhand masih ada beberapa orang yang lebih cakap dari mereka." "Di mana?" Orang Mestis itu menegakkan badannya sambil memandang insinyur dengan pandang yang menantang, lalu menjawab: "Jangan Anda bertanya, melainkan lihatlah sekeliling Anda." "Yang Anda maksud Anda sendiri?" "Dan sekiranya begitu?" Insinyur itu hendak memarahi pandunya, akan tetapi tidak sempat ia berbuat begitu, sebab pada saat itu Cas sudah berjalan ke arah mereka, lalu berdiri di muka Mestis itu sambil berkata: "Anda ialah orang yang paling tolol di dunia ini, anakku." Mestis itu segera bangkit, lalu mencabut pisaunya, akan tetapi Cas lebih cepat lagi mencabut pistolnya. Pistol itu dibidikkan ke arah Mestis dan iapun berkata: "Jangan tergesa-gesa, my boy! Peluru saya biasanya mengenai sasarannya." Melihat pistol terbidikkan ke arahnya maka Mestis itu tidak berani mempergunakan pisaunya. Dengan marah ia berseru: "Apa urusan Anda dengan saya? Siapa memberi Anda izin mencampuri percakapan kami?" "Saya sendiri, my boy. Jikalau saya sudah memberi izin, maka saya ingin mengetahui siapa yang berani menghalang-halanginya. Engkau barangkali?" "Anda tidak tahu adat, Sir!" "Nah, engkau memberi alasan kepada saya untuk bersikap begitu. Jagalah agar engkau tidak akan memberi alasan serupa itu lagi, sebab mungkin juga sikap saya lebih tidak mengenakkan lagi bagi engkau seperti tempo hari pada ahli waris Timpe." "Ahli waris Timpe? Siapakah Anda ini sebenarnya, Sir?" "Saya adalah orang yang tidak mau membiarkan orang memandang rendah kepada Winnetou atau Shatterhand. Lebih daripada itu tak perlu engkau mengetahui. Masukkan lagi pisaumu ke dalam ikat pinggangmu agar jangan engkau melukai dirimu sendiri, my boy." Cas kembali ke tempat duduknya. Mestis itu mengikuti gerak-gerik Cas dengan mata yang berkilat-kilat; ia mengepalkan tinjunya; mau rasanya ia mengajar orang yang menghina dia itu serta menikamkan pisaunya ke perutnya, akan tetapi ia tidak berani berbuat begitu. Orang yang panjang kurus itu mempunyai kewibawaan yang menyebabkan Mestis itu mengurungkan maksudnya. Orang peranakan itu menyarungkan kembali pisaunya, lalu duduk kembali di antara teman-temannya seraya berkata: "Orang gila! Siapa akan merasa terhina oleh perkataan orang yang tidak waras otaknya. Biarkanlah ia membual." "Membual?" sahut insinyur. "Sebaliknya, rupa-rupanya ia bukan orang yang dapat diajak berolok-olok. Ia sudah membela Winnetou dan Old Shatterhand; itu menyenangkan hati saya, sebab perbuatan dan petualangan kedua orang pahlawan Wild West itu sangat saya gemari. Tetapi saya akan menyelidiki adakah ia benar-benar mengenal mereka." Insinyur itu pergi ke tempat duduk Timpe lalu bertanya: "Anda kenal Winnetou atau Old Shatterhand?" Mata Cas bersinar-sinar kegirangan. "Bukan hanya mengenal saja, melainkan saya pernah menemani mereka dua minggu lamanya." "He!" seru Has keheranan. "Engkau sudah menemani kedua orang yang masyhur itu dan tidak mengatakannya kepada saya?" "Bilamana saya harus mengatakannya? Kita belum lagi sempat untuk menceriterakan pengalaman kita." "O, Anda baru saja berkenalan?" tanya insinyur. "Ya, kami bertemu pertama kali hari ini sebelum malam," jawab Cas. "Anda sudah mengalami sesuatu dengan Winnetou dan Old Shatterhand?" "Itu tak usah Anda tanyakan, Sir! Barangsiapa bergaul dengan mereka berdua, tentu mengalami barang sesuatu, bahkan pada satu hari saja lebih banyak daripada orang lain dalam satu bulan atau satu tahun." "Tidak maukah Anda menceriterakannya?" "Tidak." "Mengapa tidak?" "Sebab saya tidak pandai berceritera, Sir! Berceritera ialah suatu kesenian yang tidak mudah. Saya sudah acapkali mencobanya, akan tetapi hasilnya tidak pernah memuaskan. Kadang-kadang saya mulai di tengah-tengah atau pada akhirnya dan kadang-kadang saya mengakhiri ceritera dengan bagian tengah atau dengan awal ceritera. Hanya saya dapat mengatakan kepada Anda bahwa pada suatu ketika saya dengan tujuh orang kulit putih lain tertawan oleh suku Upzaroka yang hendak mengikat kami pada tiang siksaan. Itu diketahui oleh Old Shatterhand dan Winnetou. Mereka mengikuti jejak kami serta mengintai orang Upzaroka. Pada malam hari, tanpa pertolongan atau bantuan orang lain, mereka membebaskan kami... suatu perbuatan gagah berani yang tidak akan dapat dilakukan oleh orang lain, bahkan tidak oleh peranakan yang duduk menemani Anda itu dan menjengkelkan sekalian orang yang mendengar lagak bualnya." Orang Mestis itu sudah hendak bangkit lagi, akan tetapi dihalang-halangi oleh insinyur yang dengan cepat-cepat bertanya kepada Cas: "Tahukah Anda di mana kedua orang pahlawan itu sekarang, Sir?" "Sedikitpun tidak tahu. Kata orang, Old Shatterhand sedang mengunjungi tanah jauh, Mesir atau Parsi, akan tetapi ia akan segera pulang kembali." "Ingin sekali saya bertemu dengan dia. Betulkah ia sehebat yang diceriterakan orang? Betul-betulkah Old Shatterhand mempunyai kekuatan yang luarbiasa dalam tinjunya? Ada pula orang yang mengatakan bahwa tangannya biasa saja, bahkan sekecil tangan perempuan." "Itu betul. Sungguhpun begitu dengan sekali tinju saja ia dapat merebahkan orang yang paling kuat. Badannya tidak seberapa tinggi dan tidak seberapa lebar, akan tetapi urat dagingnya sekuat besi dan urat syarafnya sekuat baja. Winnetou seperti dia juga." "Congkakkah mereka?" "Sama sekali tidak. Mereka itu halus, lemah-lembut dan ramah-tamah seperti anak kecil saja. Lain daripada itu sanubari mereka tak pernah goyah oleh bahaya yang sebesar-besarnya. Anda hendaknya melihat mereka jikalau sedang beraksi! Pandang matanya, langkahnya dan gerak-geriknya! Sikap mereka apabila sedang menunggangi kuda. Kecakapan mereka melihat ke masa depan, mengetahui apa-apa yang akan terjadi atau yang akan datang dan... cara perhitungan mereka yang tidak pernah salah. Tidak seorangpun, baik orang kulit merah maupun orang kulit putih, biar bagaimana cerdiknya, sudah pernah berhasil menipu kedua orang ini lebih daripada satu saat belaka." "Menilik kisah Anda mereka itu hampir-hampir setengah dewa, Sir! Saya akan merasa beruntung sekali sekiranya saya bertemu dengan dia. Barangkali saya sudah pernah bersua dengan mereka, tanpa mengetahuinya." "Itu hampir tidak mungkin, Sir! Sekiranya mereka pada saat ini datang kemari, maka Anda akan segera mengetahui bahwa itu Old Shatterhand dan Winnetou." "Bagaimana?" "Setiap orang dapat mengenal mereka pada senjatanya. Peluru yang ditembakkan Winnetou dari bedil peraknya belum pernah menyimpang dari sasarannya. Bedil pembunuh beruang milik Old Shatterhand ialah seakan-akan singa mengaum yang tidak pernah melepaskan mangsanya, betapa cepat juga mangsa itu. Belum lagi bedil Henrynya! Saya adalah tukang bedil dan saya tahu adakah sesuatu bedil baik atau buruk. Saya kira Henry hanya membuat sepuluh atau duabelas buah bedil serupa itu. Tetapi tak ada bedil Henry yang semasyhur milik Old Shatterhand. Di tangan sembarang orang bedil itu tak lain daripada benda yang mati, tetapi di tangan Old Shatterhand ia menjadi benda yang hidup, yang dapat berpikir, dapat membuat perhitungan dan dapat mematuhi perintah. Betul Old Shatterhand dapat menembak dengan saksama dengan setiap bedil, akan tetapi apabila ia memegang bedil Henrynya, lebih baik orang menyembunyikan diri saja. Old Shatterhand dan bedil Henrynya seolah-olah hanya mempunyai jiwa yang satu, pikiran yang satu dan kehendak yang satu. Dapatkah Anda memahaminya?" "Itu karena Anda bukan pemburu, bukan orang yang gemar sekali menembak. Ketiga buah bedil yang saya sebut tadi tidak ternilai harganya. Sukar orang dapat mengatakan bedil yang mana yang terbaik di antara tiga buah itu, akan tetapi jikalau saya harus mengatakannya, maka tidak sangsi lagi saya akan mengatakan bahwa bedil Henry itulah yang paling baik. Sekiranya orang mau menawar sepuluh atau duapuluh ribu dollar atau lebih lagi, maka saya yakin bahwa Old Shatterhand tidak akan mau melepaskannya. Sebelum ia meninggal, tak seorangpun akan dapat memiliki bedil itu, bahkan seorangpun tidak akan boleh menyelidiki konstruksinya, sebab di tangan orang biasa bedil itu akan menjadi bedil biasa juga, bedil yang mati, yang tidak berjiwa, yang tidak mematuhi perintah." "Astaga! Pura-pura saja Anda tidak pandai berceritera, Sir! Belum pernah saya menjumpai orang yang sepandai Anda menceriterakan khasiat senjata itu." "Sebabnya ialah karena saya dahulu tukang bedil. Kini saya sudah menjadi pemburu. Barangsiapa tidak ahli, tidak akan dapat memahaminya, ia hanya pandai menertawakannya saja. Sekiranya Anda hendak menertawakan ceritera saya, maka sedikitpun saya tidak akan marah, saya tidak menaruh keberatan." "Sama sekali tidak. Pendapat Anda memang istimewa, akan tetapi gemar saya mendengarnya." "Nah, kalau begitu perkenankanlah saya memajukan permintaan. Berilah kuda kami tempat yang baik. Saya ingin sekali menyimpan tunggangan saya baik-baik, lebih-lebih karena Anda telah melihat jejak orang Indian." "Jadi Andapun berpendapat juga bahwa jejak itu dapat membahayakan kita." "Tentu saja! Peranakan yang cerdik itu boleh mempunyai pendapat yang lain, akan tetapi saya tahu menjaga keamanan saya sendiri." "Kalau begitu boleh Anda mempergunakan barak kerja yang mempunyai kunci baik. Opseter saya akan menemani Anda ke sana serta menyediakan makanan dan minuman untuk kuda Anda." Opseter itu segera bangkit dari tempat duduknya. Cas dan Has mengikuti dia ke luar, ke kuda mereka. Pekerja-pekerja kereta api kulit putih semuanya, mendengarkan percakapan itu dengan penuh perhatian. Demi kedua pemburu itu sudah pergi, maka mereka mengecam sikap Mestis, tetapi Mestis itu tinggal tenang saja, sungguhpun di dalam hati ia marah sekali. II OLD SHATTERHAND DAN WINNETOU Beberapa lamanya setelah kedua orang pemburu kulit putih itu mengikuti opseter pergi mengurus kuda mereka, maka di luar barak itu kedengaran bunyi depak kuda. "He, apa itu?" tanya insinyur dengan heran. "Mereka membawa kudanya kembali, padahal barak kerja itu cukup luas untuk memuat lebih daripada sepuluh ekor kuda." Dia menoleh ke arah pintu dan melihat dua orang masuk. Mereka itu ialah seorang kulit putih beserta seorang kulit merah. Orang yang pertama itu badannya tidak tinggi dan tidak gemuk. Mukanya dikelilingi oleh janggut merah. Pakaiannya sudah tua, bahkan bajunya di sana-sini sudah lepas jahitannya. Sepatu larsnya tinggi sehingga menutupi lututnya. Kepalanya tertutupi oleh topi yang lebar pinggirnya. Topi itu terikat pada bajunya dengan sebuah tali dan pada tali itu terikat sepasang telinga beruang grizzly. Dalam ikat pinggangnya ia membawa dua buah pistol dan sebuah pisau perburuan. Lagi pula ikat pinggang itu penuh dengan peluru dan di sana-sini ada tergantung beberapa saku untuk menyimpan pelbagai keperluan orang yang mengembara di tanah prairi. Pada bahu kirinya ia menyandang sebuah lasso yang tersimpulkan dan pada lehernya tergantung sebuah pipa perdamaian yang indah sekali. Pada punggungnya ia menyandang sebuah bedil besar yang berlaras dua dan dengan tangan kanannya ia memegang bedil berlaras satu yang tidak seberapa besar. Bedil itu tersimpan dalam sebuah selubung kulit. Temannya orang kulit merah sama pakaiannya. Hanya ia tidak memakai lars tinggi, melainkan memakai moccasin yang dihiasi dengan beberapa duri landak. Ia tidak bertopi; jambulnya yang hitam dan panjang terikat sebagai sanggul dengan kulit cobra. Pada lehernya tergantung kantong jimatnya, sebuah pipa perdamaian dan sebuah kalung yang dihiasi dengan gigi beruang grizzly. Itu tanda keberanian, sebab seorang Indian hanya boleh memakai tanda-tanda kemenangan, apabila tanda-tanda itu diperolehnya sendiri. Ia membawa lasso, dua buah pistol, sebuah pisau perburuan dan beberapa buah kantong dari kulit. Dengan tangan kanannya ia memegang sebuah bedil berlaras dua, yang tangkainya bertatahkan perak. Wajahnya menunjukkan bahwa ia tergolong bangsawan kulit merah. Kedua orang itu masuk dengan perlahan-lahan, dengan sikap yang menunjukkan rendah hati. Tidak ada satu gerakpun yang dapat menunjukkan bahwa mereka menghendaki perlakuan yang istimewa, walaupun pribadi serta sikap mereka segera menimbulkan rasa hormat pada sekalian orang yang ada di dalam barak itu. Orang-orang Tionghoa serentak berhenti membuat bising. Pekerja-pekerja orang kulit putih yang ada di kamar kecil dengan tidak sengaja bangkit dari tempat duduknya. Kedua orang yang baru masuk itu tampaknya tidak mengetahui bahwa mereka disambut dengan rasa hormat. Orang Indian itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda memberi salam dan hormat. Temannya orang kulit putih segera berkata dengan ramah tamah: "Good evening, gentlemen. Silakan duduk, kami tak hendak mengganggu Anda," kemudian ia berpaling kepada penjaga kantin lalu berkata: "Kami lapar dan haus, Sir. Adakah Anda mempunyai obatnya?" "Ada Sir!" jawabnya. "Perkenankanlah saya mengucapkan selamat datang kepada Anda berdua. Semuanya yang ada di sini tersedia bagi Anda. Silakan duduk di dekat api. Betul dua buah kursi itu telah ditempati oleh dua orang pemburu prairi yang baru saja ke luar, akan tetapi apabila mereka kembali mereka niscaya mau memberi Anda duduk bersama-sama dengan mereka." "Mereka datang lebih dahulu; jadi kami harus menunggu kedatangan mereka. Nanti akan kami tanyakan adakah mereka mau kami temani. Akan tetapi kami akan merasa gembira apabila Anda mau menyediakan bir jahe yang panas serta mau menyiapkan bagi kami makanan malam." Sambil menunggu kedatangan Cas dan Has mereka duduk di kursi yang berhadapan dengan kursi kedua saudara Timpe itu. "Tampan benar," demikian insinyur berbisik kepada kedua orang yang duduk di sampingnya. "Orang kulit merah itu tampaknya sebagai seorang raja dan temannya orang kulit putih itu tidak kurang tampannya." "Lihatlah bedil-bedil orang kulit merah itu," jawab opseter dengan berbisik. "Tangkainya bertatahkan perak. Adakah..." "Thunderstorm! Bedil perak! Winnetou! Dan lihatlah bedil besar berlaras dua milik temannya! Adakah itu bedil pembunuh beruang? Dan bedil kecil yang terbungkus itu, mungkinkah itu bedil Henry?" "Kalau begitu ia Old Shatterhand!" "Old Shatterhand dan Winnetou! Sekarang terkabullah permintaan saya!" Tiba-tiba orang mendengar suara Casimir dari sebelah pintu: "AU devils! Kuda apakah ini? Siapakah yang datang ke mari?" "Saya tidak tahu," jawab opseter yang datang kembali menemani kedua orang pemburu prairi itu. "Dua ekor kuda hitam yang merah lubang hidungnya! Kedua ekor ini saya kenal, demikian juga penunggangnya. Tak sangsi lagi! Betapa senang hati saya, tepat seperti pada ahli waris Timpe! He, Has, mari kita masuk, Anda akan bertemu dengan dua orang pemburu prairi yang paling masyhur." Ia berlari-lari masuk ke dalam ruang besar. Has dan opseter mengikuti dari belakang. Muka Casimir berseri-seri kegirangan. Demi ia berhadapan dengan ketua suku Apache dan temannya orang kulit putih, maka ia mengangkat kedua belah tangannya seraya berseru: "Ya, betul, saya tidak salah. Beruntung benar saya hari ini. Gentlemen, perkenankanlah saya menjabat tangan Anda agar..." Sekonyong-konyong ia berhenti, tidak menyelesaikan kalimatnya, menurunkan tangannya serta mundur selangkah. Kemudian ia berkata lagi dengan suara yang tidak seberapa keras: "Saya minta maaf, Mr. Shatterhand dan Mr. Winnetou. Kegirangan hati saya membuat hati saya lupa daratan. Tidak patut orang berseru kepada Anda, melainkan orang harus menunggu sampai Anda berkenan menyapa saya." Old Shatterhand mengangkat tangan kanannya seraya menjawab dengan ramah: "Tidak selayaknya Anda menyanjung-nyanjung kami, Mr. Timpe. Di daerah Barat ini semua orang yang jujur berdiri sama tegak. Inilah tangan saya: jikalau Anda mau menjabatnya, silakanlah." Cas segera menjabat tangan itu seraya berseru kegirangan: "Sir! Anda masih ingat nama saya. Anda belum lupa akan saya?" "Saya tidak akan lekas melupakan seseorang dengan siapa saya bersama-sama mengalami pelbagai petualangan sebagai tempo hari bersama-sama dengan Anda dan teman-teman Anda." "Ya, Anda masih ingat? Kami akan dibinasakan orang. Anda telah menyelamatkan jiwa kami. Itu tidak akan saya lupakan seumur hidup. Maukah Winnetou, ketua suku Apache yang masyhur itu, memperkenankan saya memberi salam kepadanya?" Ketua suku Apache menjabat tangannya seraya berkata dengan suara yang lemah-lembut dan bersungguh-sungguh: "Winnetou mengucapkan selamat datang kepada saudaranya orang kulit putih dan mempersilakan dia duduk di sebelahnya." Sekonyong-konyong insinyur mendekati mereka, menundukkan badannya, lalu berkata: "Perkenankanlah saya menyela sebentar, gentlemen. Janganlah tuan-tuan duduk di sini, melainkan saya persilakan Anda semuanya duduk pada meja saya yang sengaja disediakan untuk pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya." "Pegawai dan mereka yang lebih tinggi pangkatnya?" jawab Old Shatterhand. "Kami bukan pegawai dan tidak merasa lebih tinggi kedudukan kami daripada yang lain. Tadi Anda sudah mendengar bahwa di daerah Wild West ini semua orang yang jujur berdiri sama tegak, duduk sama rendah. Kami minta terima kasih banyak-banyak atas sambutan Anda yang memberi kami kehormatan sebesar itu, akan tetapi sekiranya Anda perkenankan, kami lebih suka duduk di sini saja." "Silakan, apabila itu Anda kehendaki, Sir. Sesungguhnya kami sendiri ingin mendapat kehormatan ditemani oleh pemburu-pemburu prairi yang masyhur ini. Kami akan merasa berbahagia sekiranya kami diperkenankan menjamu mereka serta bercakap-cakap dengan mereka." "Dengan segala senang hati kami bersedia bercakap-cakap dengan Anda. Anda pegawai pada seksi jalan kereta api ini?" "Saya insinyurnya. Ini opseter dan kepala gudang saya dan yang duduk di sana itu ialah pandu (penyelidik) kami, yang kami beri tugas menjaga keamanan kami." Ia menunjuk dengan tangannya ke arah orang-orang yang diperkenalkannya itu. Old Shatterhand mengerling ke arah orang Mestis, lalu bertanya: "Seorang pandu untuk menjaga keamanan Anda? Siapa namanya?" "Yato Inda (orang baik). Ia mempunyai nama Indian, oleh karena ibunya seorang wanita kulit merah." Pemburu prairi orang kulit putih itu memandang Mestis itu dengan pandang yang agak saksama, lalu berpaling sambil mengucapkan "Hm!" dengan perlahan-lahan sekali, sehingga hanya dapat didengar oleh ketua suku Apache. Apa yang dimaksud dengan ucapannya itu tiadalah dapat dibaca dari air mukanya. Tetapi Winnetou rupa-rupanya mempunyai alasan untuk tidak tinggal berdiam diri saja. Ia berpaling kepada pandu dengan kata-kata: "Perkenankanlah kiranya saya menyampaikan pertanyaan kepada saudara saya. Setiap orang yang mengembara di daerah Barat ini harus bersikap hati-hati dan apabila sudah dipandang perlu untuk mengangkat seorang pandu guna menjaga keamanan perkemahan ini, tentu ada musuh yang mengancam. Siapakah musuh itu?" Mestis itu menjawab dengan sopan, walaupun tidak dengan hormat seperti yang sudah selayaknya terhadap orang yang masyhur seperti Winnetou: "Rupa-rupanya orang Comanche tidak dapat dipercayai." Winnetou mendengarkan jawab itu dengan segala minat. Ia berdiam diri sebentar seakan-akan berpikir, akan tetapi kemudian berkata lagi: "Adakah saudara saya mempunyai alasan untuk mencurigai mereka?" "Alasan yang kuat tidak ada, itu hanya dugaan belaka." "Nama saudara saya ialah Yato Inda. Yato ialah bahasa Navayo, artinya 'baik'; Inda ialah bahasa Apache dan artinya ialah 'orang'. Orang Navayo ialah orang Apache juga; karena itu saya menduga bahwa ibu Anda ialah seorang wanita Apache." Kata-kata Winnetou itu rupa-rupanya tidak menyenangkan hati si pandu. Ia berusaha mengelaki pertanyaan tadi dengan berkata: "Saya belum pernah mendengar bahwa Winnetou, ketua suku yang masyhur itu, bersifat ingin sekali mengetahui segala-galanya. Apakah sebabnya maka kini ia bertanya-tanya tentang seorang squaw (wanita Indian) Indian yang tidak dikenalnya?" "Oleh karena wanita itu ibu Anda," jawab ketua suku itu dengan suara yang mengandung kecaman. "Karena saya di sini, maka saya ingin mengetahui siapa yang mempunyai tugas menjaga keamanan tempat ini. Dari suku manakah ibu Anda?" Demi pandu itu mendengar pertanyaan Winnetou dan melihat bahwa ketua suku itu memandang dia dengan mata yang terbelalak, maka ia tak dapat mengelak lagi. Ia menjawab: "Suku Apache Pinal." "Jadi Anda mengenal bahasa ibu Anda?" "Tentu saja." "Saya mengenal segenap bahasa dan segenap logat orang Apache. Mereka melafalkan bunyi kata-kata serentak dengan lidah dan tenggorokan, akan tetapi Anda hanya mempergunakan lidah belaka, justru seperti kebiasaan orang Comanche." Orang Mestis itu melompat bangkit. "Maksud Anda hendak mengatakan bahwa saya anak seorang Comanche?" "Dan sekiranya itu benar-benar maksud saya?" "Anda sudah melemparkan tuduhan tanpa memberi bukti. Sekiranya ibu saya betul-betul orang Comanche, maka itu belum lagi berarti bahwa saya seia-sekata dengan orang-orang Comanche." "Tentu saja tidak, akan tetapi Anda niscaya kenal Tokvi-Kava, "Mustang Hitam". Ia ketua suku Comanche yang paling bengis." "Saya hanya pernah mendengar namanya." "Ia mempunyai seorang anak perempuan yang menjadi isteri seorang kulit putih. Kedua suami-isteri itu sudah meninggal, akan tetapi mempunyai anak yang dipungut dan dipelihara oleh "Mustang Hitam" serta dididik dalam suasana permusuhan terhadap orang-orang kulit putih. Anak ini pernah mendapat tikaman pada telinga kanannya ketika ia bermain-main dengan temannya. Apakah sebabnya maka Anda berbicara dengan lafal orang Comanche dan Anda mempunyai bekas luka pada telinga kanan Anda?" Dengan tiba-tiba pandu itu bangkit lagi seraya berseru marah: "Bekas luka itu justru ditimbulkan oleh permusuhan saya dengan orang-orang Comanche. Saya kena tikam ketika saya berkelahi dengan mereka. Jikalau Anda meragu-ragukannya maka Anda saya tantang berkelahi dengan saya." "Pshaw!" Kata itu diucapkan Winnetou dengan lagu yang menunjukkan sikap masa bodoh. Kemudian ia berpaling lalu menyambut gelas berisi bir yang diantarkan oleh penjaga kantin. Dengan berdiam diri saja sekalian orang yang ada di kamar itu menyaksikan pertengkaran mulut tadi. Lama sesudah itu barulah orang mulai bercakap-cakap lagi. Insinyur bertanya kepada Old Shatterhand dan Winnetou adakah mereka bermaksud hendak bermalam. Kedua orang pemburu prairi itu menjawab bahwa demikianlah maksud mereka. Maka insinyur itu berkata lagi: "Tadi penjaga kantin menawarkan kepada dua orang tuan yang datang lebih dahulu daripada Anda, tempat tidur di dekat tempat tidurnya. Di sana sudah tidak ada tempat lagi. Anda tentu saja tidak menghendaki tidur di bawah langit? Dan saya tidak akan membiarkan Anda berdua tidur bersama-sama dengan pekerja-pekerja saya orang Tionghoa. Karena itu saya persilakan Anda mempergunakan tempat tidur di kamar saya. Maukah Anda menerima tawaran saya?" Old Shatterhand berpaling ke arah Winnetou dan demi ia melihat bahwa ketua suku itu menganggukkan kepalanya, maka ia menjawab: "Tawaran Anda kami terima dengan rasa terima kasih, itupun apabila Anda mempunyai tempat yang baik buat kuda kami." "Itu mudah. Kuda kedua orang tuan yang lain itu telah kami beri tempat yang baik juga. Di sana masih ada tempat bagi tunggangan Anda. Saya persilakan Anda melihat rumah saya." "Ya, itu baik. Kami sudah biasa meninjau baik-baik tempat di mana kami akan bermalam." Winnetou dan Old Shatterhand memungut senjatanya, lalu mengikuti insinyur pergi ke sebuah bangunan kecil yang tidak seberapa jauh letaknya. Rumah insinyur itu terbuat daripada batu oleh karena tidak bersifat sementara seperti barak-barak yang lain, melainkan dimaksud untuk menjadi rumah penjaga jembatan kereta api kelak. Insinyur itu segera membuka pintu rumahnya dan setelah semuanya masuk maka ia memasang lampu. Kedua orang tamu itu merasa sangat puas melihat keadaan kamar di mana mereka bersama-sama akan bermalam. Insinyur itu berkata: "Barang-barang Anda dapat Anda tinggalkan di sini. Apa gunanya selimut dan senjata-senjata itu Anda bawa kian-kemari. Tempat ini aman." Apa yang dikatakan oleh insinyur itu memang benar. Dinding kamar itu sangat kuat, jendelanya sangat kecil sehingga tak dapat dimasuki orang. Pintunya terbuat daripada jenis kayu yang kuat sekali, lagipula mempunyai kunci yang baik. Karena itu maka tanpa ragu-ragu mereka meninggalkan bedil mereka dan selimut mereka di dalam kamar. Sesudah itu mereka membawa kudanya ke barak di mana tunggangan kedua Timpe sudah ditempatkan lebih dahulu. Setelah kuda mereka mendapat air minum dan makanan, maka Old Shatterhand bertanya tiadakah mungkin menempatkan seorang penjaga di depan pintu barak yang dipergunakan sebagai kandang kuda itu. Insinyur menjanjikan akan memasang penjagaan. Maka mereka ke kantin. Sambil berjalan, insinyur berkata: "Malam ini Anda berdua akan menjadi tamu saya dan akan makan bersama-sama dengan saya di rumah saya, lebih-lebih oleh karena Anda rupa-rupanya tidak menaruh simpati kepada pandu saya. Mr. Winnetou, perkenankanlah saya bertanya adakah Anda mempunyai alasan yang kuat untuk mencurigai peranakan Indian itu?" "Winnetou tidak pernah berbuat sesuatu atau mengatakan sesuatu tanpa mempunyai alasan yang kuat," jawab ketua suku itu. "Akan tetapi pandu itu selalu setia kepada kami dan selanjutnya kami tidak pernah mempunyai alasan untuk tidak mempercayainya." "Winnetou tidak percaya bahwa orang itu setia. Saudara saya akan mengalami bahwa kesetiaan itu tidak akan berlangsung lama. Ia menyebut dirinya Yato Inda, 'orang baik', akan tetapi saya yakin bahwa nama sesungguhnya ialah 'Ik Senanda', yang dalam bahasa Comanche kira-kira berarti 'Ular Curang'." "Adakah sungguh-sungguh orang Comanche yang bernama demikian?" "Orang peranakan yang disebut oleh Winnetou tadi, demikian namanya, ia cucu Mustang Hitam." "Mr. Winnetou, kecerdikan dan perasaan Anda sangat saya hormati akan tetapi sekali ini saya rasa Anda salah sangka. Selama ini pandu itu sudah sekian banyak memberi bukti kesetiaannya, sehingga saya harus mempercayainya." "Saudara saya orang kulit putih tentu saja dapat berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi apabila Old Shatterhand dan Winnetou nanti akan berbicara sedemikian kerasnya sehingga dapat didengarkan oleh pandu Anda, maka segala yang dikatakannya bukanlah yang sesungguhnya dimaksudnya. Hendaknya itu Anda perhatikan!" Dengan kata yang terakhir itu Winnetou hendak menyatakan bahwa soal itu sudah dipandangnya selesai. Ia tidak mau lagi melanjutkan percakapan tentang soal tersebut. III BEDIL DAN KUDA OLD SHATTERHAND DAN WINNETOU DICURI ORANG Insinyur, Old Shatterhand dan Winnetou telah balik kembali di kantin. Sebelum mereka duduk kembali di tempat di mana mereka meninggalkan kedua orang Timpe, maka lebih dahulu insinyur memesan makan untuk lima orang, sebab kedua Timpe pun dipandangnya sebagai tamu pribadinya. Old Shatterhand bertanya kepada Cas urusan apa membawa dia datang ke mari dan ke mana ia hendak pergi. Dengan kata-kata singkat Cas menceriterakan perihal warisan yang dikejarnya serta bagaimana ia secara kebetulan sekali bertemu dengan orang yang ternyata adalah saudara sepupunya sendiri. "Kami harus pergi ke Santa-Fe," katanya selanjutnya, "akan tetapi sayang sekali kami tidak dapat mengambil jalan langsung." "Mengapa tidak?" "Karena orang-orang Comanche. Dari sini kami hendak pergi ke arah Timur dahulu, sesudah itu baru akan membelok ke arah Selatan." "Hra! Tahukah Anda jalan itu?" "Tidak, akan tetapi seorang pemburu prairi tidak usah takut akan sesat. Barangkali Anda mau memberi kami nasihat." "Dengan segala senang hati. Dapatkah Anda menerka bagaimana bunyi nasihat itu?" "Bagaimana saya dapat menerkanya?" "Nasihat saya hanya terjadi daripada empat buah perkataan: Bawalah kami menyertai Anda!" "AU devils! Kami akan membawa serta Anda dan Winnetou?" "Ya." "Anda bersungguh-sungguh?" "Ya. Kita tidak mempunyai alasan sedikit juga untuk berolok-olok." "Adakah Anda memang hendak pergi ke arah itu juga?" "Betul. Kami harus pergi ke Santa-Fe juga, walaupun tidak untuk mengejar warisan." Segera Cas bertepuk-tangan kegirangan, sehingga orang-orang yang ada di kantin itu semuanya bangkit dengan terkejut. Cas berseru: "Untung besar, untung besar! Has, Has, adalah engkau mendengar juga? Kita boleh menyertai Old Shatterhand dan Winnetou. Kini saya tak usah merasa khawatir akan berjumpa dengan orang-orang Comanche. Kita tidak usah mengambil jalan yang mengeliling, melainkan akan berjalan langsung melalui tempat orang-orang kulit merah itu. Dan setiba di Santa-Fe, dengan mudah sekali kita akan mencapai tujuan kita. Nahum Samuel Timpe tidak akan berani menipu kita atau mencoba meloloskan diri. Bukankah kita disertai orang-orang yang dalam sekejap mata saja dapat menghapuskan mereka dari muka bumi ini!" "Jangan Anda berteriak-teriak!" kata Old Shatterhand dengan tertawa. "Tidak ada alasan sama sekali untuk bersorak-sorak. Kami tidak bermaksud untuk menerjang barisan orang-orang Comanche. Seperti halnya dengan Anda, kamipun bermaksud hendak pergi ke arah Timur dahulu. Jadi Anda mufakat berjalan bersama-sama dengan kami?" "Tak usah Anda tanyakan lagi! Di seluruh daerah Barat ini tidak ada teman seperti Anda. Bilamana Anda hendak berangkat, Sir?" "Besok pagi; segera setelah kita bangun. Dengan demikian sore hari kita akan sampai ke Aider-Spring, di mana kita dapat bermalam sampai keesokan harinya." Nama tempat itu disebutnya dengan tekanan istimewa, sebab dalam bercakap-cakap itu dengan sembunyi-sembunyi ia telah mengamat-amati orang Mestis dan ia melihat bahwa peranakan itu ikut mendengarkan segala percakapan dengan perhatian yang besar sekali, sungguhpun ia pura-pura berbuat seakan-akan ia tidak mengacuhkan percakapan mereka. Akan tetapi bukan pandu seorang itu saja yang menaruh minat terhadap percakapan kedua orang pemburu prairi itu. Di balik dinding papan yang memisahkan kantin itu dari ruang besar tempat orang-orang Tionghoa, ada dua orang berkuncit yang memisahkan diri dari teman-temannya dan duduk di dekat dinding papan sambil merokok dan minum. Rupa-rupanya mereka itu adalah mandor orang-orang Tionghoa. Dari tempat duduk mereka, mereka dapat mendengarkan segala yang dibicarakan di kamar kantin. Mula-mula mereka bersikap acuh tak acuh, akan tetapi demi orang membicarakan bedil Old Shatterhand dan Winnetou serta mendengar betapa besar nilai senjata-senjata itu, maka segera mereka memasang telinganya. Kemudian datanglah dengan tiba-tiba kedua orang pemburu prairi yang dipercakapkan tadi. Kedua orang Tionghoa itu mengintai dari celah dinding, serta mengamat-amati bedil kedua orang yang baru datang tadi. Ketika insinyur beserta kedua orang tamunya balik kembali dari rumahnya dan kedua orang Tionghoa itu melihat bahwa Old Shatterhand dan Winnetou tidak ada membawa bedilnya, maka mereka tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Tak tenang lagi mereka duduk; keduanya mempunyai pikiran dan perasaan yang sama, akan tetapi masing-masing menunggu sampai temannya mau memulai berbicara. Akhirnya seorang dari mereka tidak sabar lagi. Dengan berbisik-bisik ia bertanya: "Engkau mendengar segala-galanya?" "Ya," jawab yang lain. "Saya melihat!" "Yang saya maksud bedil kedua orang itu?" "Ya, saya mengerti." "Indah benar! Tentu mahal sekali harganya." "Ya, paling sedikit beberapa ribu dollar." "Ah, sekiranya benda-benda itu kita miliki! Kita tidak usah lagi bekerja berat, tidak usah lagi kita membanting tulang. Bahkan kita akan mempunyai cukup uang untuk pulang ke tanah air kita!" Demikian mereka berbisik-bisik; mereka merundingkan sesuatu. Sebentar kemudian yang seorang mengejapkan matanya seraya berkata: "Dapatkah engkau menduga di mana bedil mereka itu ditinggalkan?" "Saya tahu," jawab yang lain. "Di mana?" "Di rumah insinyur. Jikalau kita dapat mengambilnya, maka bedil-bedil itu sebaiknya kita pendam supaya tidak seorangpun akan mengetahuinya." "Ya, kelak dapat kita jual di San Francisco. Kita akan menjadi kaya, kita dapat pulang ke Tionghoa dan di sana hidup bermalas-malas." "Ya, pasti. Kalau kita mau, niscaya tiadalah sukar untuk mengambil benda-benda itu." "Rumah insinyur itu terbuat daripada batu dan jendelanya terlalu sempit." "Ya, pintunyapun kuat sekali buatannya serta terkunci baik-baik." "Betul, akan tetapi jikalau kita mempergunakan tangga, maka kita dapat masuk dari atas." "Di luar tidak kurang tangga." "Tetapi akan kita pendam di mana bedil-bedil itu? Di dalam tanah tentu akan berkarat." "Tidak, jikalau terbungkus baik-baik. Kita dapat mengambil tikar di gudang." Mula-mula mereka berbisik-bisik; kemudian mereka beringsut sampai berdekatan sekali, sehingga tak seorangpun akan dapat mendengarkan percakapan mereka. Sebentar kemudian mereka meninggalkan tempat duduknya. Mereka pergi ke luar. Pada saat itu juga ada seorang tamu baru masuk. Orang itu ialah seorang Indian yang berbaju kemeja biru dan memakai moccasin dari kulit. Ia tidak ada membawa senjata lain daripada sebuah pisau pada ikat pinggangnya. Rambutnya panjang seperti rambut perempuan dan pada lehernya bergantung sebuah kalung dengan kantong jimat. Ia berhenti di dekat pintu, melayangkan pandangannya ke arah ruang besar, lalu berjalan perlahan-lahan ke arah kantin. Tempat itu sudah sering dikunjungi oleh orang kulit merah, karena itu maka kedatangan tamu itu tidak seberapa menarik perhatian orang-orang Tionghoa. Di kantinpun kedatangan orang kulit merah itu tidak menarik perhatian benar. Ia berjalan melalui meja dan kursi, berjongkok di sebelah api. Demi orang Mestis melihat Indian itu masuk, maka segera berubah air mukanya, akan tetapi hanya sebentar saja, sehingga tidak diketahui orang. Pandu dan orang kulit merah itu berbuat seakan-akan mereka tidak kenal-mengenal, akan tetapi sekali-kali mereka bertukar pandang dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian pandu itu bangkit dari tempat duduknya dan dengan sikap acuh tak acuh ia berjalan ke arah pintu dengan perlahan-lahan. Akan tetapi ada dua orang yang dari tadi memperhatikan segala gerak-geriknya, yaitu Winnetou dan Old Shatterhand. Mereka melihat ke arah yang berlainan, akan tetapi sebagai seorang pemburu prairi yang berpengalaman dan yang sudah terlatih baik pancainderanya, mereka dapat melihat apa-apa yang terjadi di tempat ke mana justru mereka tidak melihat. Setiba di pintu maka pandu itu menoleh sebentar. Ia melihat bahwa tidak seorangpun berpaling ke arahnya dan dalam sekejap mata saja ia sudah memberi isyarat kepada orang kulit merah yang baru datang tadi, isyarat yang hanya dapat dipahami oleh orang kulit merah itu dan yang rupa-rupanya mempunyai arti yang sudah ditetapkan bersama lebih dahulu. Kemudian pandu itu menghilang di dalam gelap-gulita malam. Tetapi Winnetou dan Old Shatterhand ada melihat isyarat tadi. Kedua orang pemburu prairi itu saling bertukar pandang dan tanpa berkata sepatah juapun mereka sudah sepakat tentang apa yang akan diperbuatnya. Apa yang diduganya dan apa yang akan diperbuatnya ialah yang berikut: orang kulit merah yang baru masuk tadi rupa-rupanya mempunyai hubungan rahasia dengan pandu, sebab orang peranakan itu sudah memberi tanda. Tindak-tanduk mereka yang bersikap rahasia itu menimbulkan dugaan bahwa mereka mempunyai maksud yang jahat. Maksud itu harus diketahui. Karena itulah maka salah seorang dari kedua pemburu prairi itu harus mengikuti pandu untuk menyelidiki tindak-tanduknya di luar. Oleh karena sudah pasti bahwa soal itu bersangkut-paut dengan orang Indian, maka Winnetou sendiri telah memutuskan untuk menjalankan pekerjaan penyelidikan itu. Sayang sekali ia tidak mempergunakan pintu, oleh karena pintu itu disinari oleh cahaya api, sehingga apabila pandu menyembunyikan diri untuk mengintai maka dapatlah ia melihat siapa yang ke luar atau masuk barak. Untung ketua suku Apache itu tadi telah melihat bahwa di belakang timbunan tong dan peti ada sebuah pintu kecil yang rupa-rupanya dipergunakan orang untuk memasukkan atau mengeluarkan benda-benda itu. Pintu kecil itulah yang akan dipergunakan oleh Winnetou. Agar tidak menarik perhatian orang maka ia menunggu sampai seluruh perhatian tertarik oleh Old Shatterhand dan itu pasti akan terjadi segera setelah ia mulai bercakap-cakap dengan orang kulit merah yang baru datang tadi. Old Shatterhand merasa perlu menanyai orang Indian itu untuk mengetahui dapatkah ia memperoleh keterangan yang dapat membuka rahasia antara orang Indian dan pandu. Old Shatterhand segera memulai percakapannya dan demi semua mata terarahkan kepada Old Shatterhand, maka Winnetou dengan perlahan-lahan meninggalkan tempat duduknya, lalu menghilang di belakang timbunan tong dan peti. "Saudara saya orang kulit merah duduk jauh-jauh dari kami. Tidakkah ia mau minum bersama dengan kami?" demikian Old Shatterhand mengucapkan pertanyaannya yang pertama. Orang kulit merah itu menggelengkan kepalanya. "Mengapa ia tidak mau? Tidak hauskah ia?" "Juwaruwa haus juga, akan tetapi ia tidak beruang," jawab orang kulit merah itu. "Nama Anda Juwaruwa?" "Demikianlah orang menyebut saya." "Itu bahasa Upsaroka. Anda dari suku itu?" "Ya, saya seorang prajurit Upsaroka." "Di mana letak padang penggembalaan kuda mereka?" "Di Wyoming." "Siapa nama ketua suku Anda?" "Ia disebut orang Bison Kuat." Kebetulan sekali Old Shatterhand pernah mengunjungi perkampungan orang Upsaroka yang termasuk suku Dakota. Dengan demikian maka ia dapat mengetahui adakah orang Indian itu membohongi dia. Jawab orang kulit merah itu semuanya mengandung kebenaran. "Jikalau saudara saya tidak beruang, maka ia boleh duduk menemani kami dan minum bersama-sama dengan kami," demikian Old Shatterhand melanjutkan percakapannya. Orang Indian itu memandang Old Shatterhand dengan pandang yang mengandung kewaspadaan serta menjawab: "Juwaruwa adalah prajurit yang jantan. Ia hanya mau minum dengan orang yang dikenalnya dan yang sama jantannya dengan dia. Adakah Anda mempunyai nama dan sekiranya begitu, siapa nama Anda?" "Biasanya saya disebut Old Shatterhand." "Old... Shat...!" Ia tidak dapat mengakhiri kalimat yang dimulainya. Sesaat lamanya ia tidak dapat menguasai dirinya. Dengan demikian maka ia menunjukkan bahwa ia terkejut. Sebentar kemudian ia tenang kembali dan dengan sikap acuh tak acuh ia berkata: "Old Shatterhand? Uf! Jadi Anda orang kulit putih yang masyhur itu?" "Kalau itu pendapat Anda, maka tentu Anda tidak akan menaruh keberatan minum bersama-sama dengan saya. Silakan duduk pada meja kami." Ia tidak memenuhi permintaan Old Shatterhand, melainkan melayangkan pandangan ke sekelilingnya, lalu bertanya: "Saya tidak ada meliat orang kulit merah yang tadi duduk di sebelah Anda. Kemanakah ia?" "Barangkali di kamar di sebelah ini." "Saya tidak melihat ia meninggalkan tempatnya. Jikalau Anda Old Shatterhand, maka niscaya ia Winnetou, ketua suku Apache!" "Ya, itu betul. Di mana kuda Anda?" "Saya tidak berkuda." "Mungkinkah itu? Anda seorang prajurit Upsaroka yang mengembara di tempat yang letaknya beberapa hari perjalanan di sebelah Selatan perkampungannya dan Anda tidak berkuda! Anda kehilangan kuda Anda di tengah jalan?" "Tidak, saya tidak ada membawa kuda." "Dan tidak ada membawa senjata kecuali pisau?" "Ya." "Kalau begitu Anda pasti mempunyai alasan yang penting sekali." "Saya sudah bersumpah tidak akan berkuda dan hanya akan membawa pisau belaka dalam perjalanan saya." "Sebab apa?" "Oleh karena orang-orang Comanche pun tidak berkuda dan tidak ada membawa senjata-senjata lain kecuali pisau." "Orang Comanche? Di mana mereka?" "Di sebelah hulu, dekat pada bekas padang perburuan kami di Dakota." "Orang-orang Comanche mengembara sejauh itu di sebelah Utara?" Old Shatterhand sudah tidak mempercayai orang kulit merah ini dan suaranyapun mengandung kesangsian. Dengan lagak mengejek orang kulit merah itu menjawab: "Tidakkah Old Shatterhand tahu bahwa setiap prajurit Indian harus pernah, walaupun sekali juga, pergi ke Dakota untuk mengambil tanah liat suci untuk membuat pipa perdamaiannya?" "Saya tahu bahwa tidak setiap orang Indian berbuat begitu." "Tetapi itu sudah menjadi adat-kebiasaan orang Comanche. Mereka bersua dengan kami, yaitu saya dan saudara saya. Saudara saya mati terbunuh, tetapi saya dapat melarikan diri. Kemudian saya bersumpah bahwa saya akan mengejar mereka tanpa berkuda dan tanpa bersenjata kecuali pisau belaka. Saya tidak akan berhenti sebelum saya membunuh mereka." "Jikalau Anda tahu tentang adat-istiadat suci itu, maka Anda tentu tahu juga bahwa seorang Indian yang pergi ke tempat suci tadi tidak boleh membunuh orang Indian lain?" "Ya, tetapi orang-orang Comanche itu sudah melakukan pembunuhan!" "Hra! Tetapi apa gunanya Anda bersumpah? Bersumpah tidak akan berkuda dan hanya akan mempergunakan pisau belaka! Bagaimana Anda dapat berburu? Dan apa yang menjadi nafkah Anda dijalan?" "Tidak tahukah Anda?" jawab orang Indian itu dengan congkak. Ia mengira bahwa ia sudah dapat menipu Old Shatterhand. "Tidak," jawab Old Shatterhand dengan tenang. "Hanya saya tidak mengerti bahwa Anda sudah dapat menempuh jarak sejauh itu tanpa mempergunakan tunggangan." "Ya, saya sudah bersumpah dan sumpah itu tidak saya ingkari." "Hra! Saya tahu bahwa Anda telah mengingkarinya." "Buktikanlah!" "Hari ini juga Anda duduk di atas pelana." "Uf! Uf!" "Ya, dan ketika itu hari hujan." "Uf! Uf!" demikian orang yang menyebut dirinya prajurit Upsaroka itu menjawab. Suaranya sebagian mengandung kesal, sebagian menyatakan bahwa ia terkejut. Ketika ia bercakap-cakap dengan Old Shatterhand, ia sudah bangkit dari tempat duduknya dan kini ia berdiri berhadapan muka dengan pemburu prairi orang kulit putih itu. Old Shatterhand membungkuk dan dengan kedua tangannya ia mengusap-usap kaki orang Indian itu seraya berkata: "Moccasin Anda basah di sebelah luar, tetapi kering di sebelah dalam. Sebelah dalam itu bersandar pada perut kuda dan dengan demikian tidak dibasahi oleh air hujan." Walaupun orang Indian itu tidak menduga bahwa Old Shatterhand sedemikian cerdiknya, akan tetapi dengan segera ia mendapatkan dalih yang menyatakan kecerdikan juga. Ia berkata: "Kata orang, Old Shatterhand ialah orang kulit putih yang paling cerdik, akan tetapi namun begitu ia tidak dapat menerangkan barang sesuatu yang mudah sekali. Setiap anak kecil mengetahui bahwa bagian dalam celana selalu lebih cepat menjadi kering daripada sebelah luar. Rupa-rupanya Old Shatterhand masih harus banyak belajar!" Jawab itu sebenarnya dimaksud sebagai penghinaan, akan tetapi pemburu prairi itu tinggal tenang saja. Hingga kini Old Shatterhand mempergunakan bahasa Inggeris yang dikuasai juga oleh orang kulit merah itu. Akan tetapi kini pemburu prairi orang kulit putih itu beralih kepada logat Upsaroka, maka kini ia tidak mendapat jawab. Pertanyaan itu disusulnya dengan beberapa pertanyaan yang lain, akan tetapi hasilnya tetap nihil saja. Maka Old Shatterhand meletakkan tangannya di atas bahu orang Indian seraya berkata: "Mengapa Anda tidak menjawab? Anda tidak mengerti bahasa Anda sendiri?" "Saya sudah bersumpah tidak akan mempergunakan bahasa saya sendiri sebelum saya membalas kematian saudara saya." "Sumpah Anda rupa-rupanya bukan main luasnya. Itu ganjil benar, akan tetapi lebih ganjil lagi ialah kebodohan Anda yang menyangka dapat menipu saya. Justru bahasa Anda itulah yang membuka rahasia Anda. Saya tahu bagaimana seorang Upsaroka dan seorang dari suku yang lain mengucapkan bahasa orang kulit putih. Anda bukan orang Upsaroka, melainkan orang Comanche. Beranikah Anda mengakuinya?" "Orang-orang Comanche ialah musuh saya. Itu sudah saya katakan tadi!" "Justru karena mereka Anda sebut musuh Anda, maka itulah bukti bagi saya bahwa Anda seorang Comanche." "Jadi Anda mendakwa saya berbohong? Itu ialah kebiasaan orang kulit putih untuk menghina tamu mereka orang kulit merah. Saya tidak mau tinggal lebih lama lagi di sini. Saya akan pergi." Ia sudah bergerak ke arah pintu. "Jangan pergi!" demikian Old Shatterhand berseru dengan suara memerintah, sambil memegang lengannya. Orang Indian itu mencabut pisaunya seraya berseru: "Siapa memberi Anda hak untuk menahan saya di sini? Anda? Apa yang sudah saya perbuat? Saya tidak bersalah! Saya hendak pergi atas kehendak saya sendiri. Barangsiapa hendak menghalang-halanginya akan saya tikam dengan pisau ini!" Sungguhpun begitu Old Shatterhand tetap memegang lengannya dengan tangan kiri dan secepat kilat dicabutnya pisau itu dengan tangan kanannya, lalu mengulang perintahnya: "Jangan Anda pergi, Anda tinggal di sini sampai Winnetou datang. Sesudah itu baru akan diputuskan bolehkah Anda pergi atau haruskah Anda tinggal di sini. Kembalilah ke tempat Anda berjongkok tadi. Jikalau Anda mencoba melarikan diri, maka peluru pistol saya akan menembusi kepala Anda!" Maka dilemparkannya orang kulit merah itu ke tempatnya tadi. Indian itu jatuh terlentang. Ia hendak bangkit kembali, akan tetapi setelah berpikir sebentar ia cepat-cepat berjongkok di tempatnya. Old Shatterhand duduk kembali serta meletakkan pistolnya di atas meja, untuk menyatakan bahwa ancamannya sekali-kali bukan olok-olok. Sejak itu percakapan tidak dilanjutkan lagi. Beberapa saat kemudian pandu kembali lagi, lalu duduk di tempatnya. Oleh karena ia melihat bahwa orang Indian itu masih duduk dalam sikapnya semula, maka ia tidak menduga bahwa ada sesuatu yang telah terjadi. Kepala gudang dan opseter duduk menemani dia serta menceritakan kejadian itu. Ia mendengarkan dengan tenang, walaupun barangkali di dalam batinnya ia merasa cemas. Walaupun ia mengira bahwa Winnetou tidak melihat dia, akan tetapi dugaan masih belum lagi merupakan kepastian. Ketika Winnetou tadi meninggalkan kamar melalui pintu belakang, maka ia menyangka bahwa pandu itu ada di sebelah depan. Karena itulah maka ia menyuruk-nyuruk dan mengelilingi ke arah depan. Pintu barak terbuka lebar-lebar serta diterangi cahaya api dan apabila pintu itu selalu diamat-amati, maka setiap orang yang melintasinya tentu akan dapat dilihat. Winnetou makin berjalan mengeliling, setiap kali ia berhenti serta memasang telinganya, akan tetapi sia-sia belaka. Ia kembali lagi, lalu memulai lagi perjalanannya mengeliling, akan tetapi usahanya tidak pernah berhasil. Akhirnya ia melihat sosok tubuh menghampiri pintu barak. Kemudian ia melihat siapa yang mendekati pintu itu. "Uf, itu si pandu," katanya di dalam hati. "Rupa-rupanya ia sudah mempunyai maksud yang mengandung rahasia. Karena itulah maka sia-sia saja saya mencari dia. Sekali ini salah dugaan saya. Old Shatterhand tentu akan merasa heran." Kini ia tidak berusaha lagi untuk kembali secara diam-diam, melainkan mempergunakan pintu masuk yang diterangi cahaya api itu. Ketika pandu itu melihat Winnetou masuk, maka ia merasa berdebar-debar. Segera akan ternyata adakah ketua suku Apache itu telah mendengarkan percakapannya atau tidak. Dengan tenang saja Winnetou duduk di sebelah Old Shatterhand, yang segera melaporkan hasil percakapannya dengan orang kulit merah yang mengaku prajurit Upsaroka itu. Kemudian dengan perlahan-lahan sekali ia bertanya: "Saudara saya berhasil atau tidak?" "Winnetou sudah salah sangka. Ia tidak mendapati sesuatu yang mencurigakan." "Akan tetapi tadi si pandu sudah memberi tanda kepada orang kulit merah itu." "Bukan tanda, barangkali hanya gerak tangan yang kebetulan saja." "Kalau begitu dugaan saya tentu salah juga. Akan tetapi saya tahu, bahwa orang Indian ini bukan orang Upsaroka, melainkan orang Comanche." "Adakah ia berbuat jahat terhadap Anda, saya atau orang lain?" "Sampai sekarang tidak." "Kalau begitu ia tidak boleh diperlakukan sebagai seorang musuh. Saudara saya Shatterhand hendaknya membiarkan ia pergi." "Apa boleh buat, jikalau itu Anda kehendaki. Akan tetapi sesungguhnya agak enggan saya berbuat begitu." Maka ia memberitahukan pada orang kulit merah bahwa ia boleh pergi. Orang Indian itu bangkit dengan perlahan-lahan, lalu meminta pisaunya kembali. Pisau itu dikembalikannya ke dalam ikat pinggangnya, lalu ia berkata: "Pisau ini mempunyai tugas yang baru, sebab saya sudah mengucapkan sumpah yang baru pula. Old Shatterhand akan segera mengetahui apa yang saya maksud." Setelah mengucapkan ancaman itu, ia meninggalkan kantin dengan tergesa-gesa. Wajah orang Mestis menunjukkan perasaan cemas, akan tetapi air muka itu kini berubah, menyatakan cemooh. Old Shatterhand dan Winnetou sama-sama melihatnya. Winnetou berbisik: "Saudara saya hendaknya melihat wajah orang Mestis itu." "Itu sudah saya perhatikan." "Ia menertawakan kita." "Rupa-rupanya ia mempunyai alasan yang tepat untuk berbuat begitu." "Ya, kini saya makin condong pada dugaan Anda bahwa gerak tangannya tadi ialah suatu tanda bagi orang Indian yang Anda katakan orang Comanche itu." "Anda tidak bertemu dengan dia di luar tadi? Siapa tahu muslihat apa yang sudah dijalankannya di luar. Kita harus lebih mengamat-amati orang peranakan itu. Saya yakin bahwa ia membahayakan." Pendapat Old Shatterhand itu sesungguhnya benar. Orang Mestis itu benar-benar orang yang membahayakan dan di luar ia sudah memasang muslihat yang dapat menimbulkan bencana. Ketika pandu itu tadi meninggalkan barak, perbuatannya yang pertama-tama ialah menghindari cahaya api yang bersinar ke luar. Ia berjalan lurus-lurus, kira-kira tigaratus langkah. Maka ia mendengar orang menyapa dia dengan perlahan-lahan. Ia dipanggil dengan nama yang lain daripada nama yang dipakainya di dalam barak tadi, sebab suara itu berbisik: "Kemari, Ik Senanda. Kami ada di sini." Maka terbuktilah sekarang bahwa ia betul-betul orang yang disangka Winnetou, yakni cucu "Mustang Hitam", ketua suku Comanche yang bengis. Ketika ia mendekati tempat darimana suara itu datang, maka segera ia melihat tiga orang Indian, seorang dari mereka tinggi dan kuat tubuhnya. Itu ialah ketua suku yang menyambut Mestis itu dengan perkataan: "Selamat datang, cucuku! Saya telah menyuruh Kita Homascha*, prajurit saya yang paling cerdik, masuk ke rumah orang kulit putih agar Anda mengetahui bahwa saya ada di sini serta menunggu kedatangan Anda. Anda sudah berbicara dengan dia?" (*Dua bulu) "Tidak sepatah katapun. Kedatangannya sudah cukup bagi saya." "Anda cerdik sekali. Dengan demikian orang-orang itu tidak akan menaruh curiga. Di sini kita tidak akan dapat dilihat orang, sebaliknya kami dapat melihat dengan jelas pintu yang diterangi oleh cahaya api itu. Setiap orang yang meninggalkan rumah dapat kita lihat. Lain daripada itu mereka hanyalah orang yang tidak tahu-menahu tentang kehidupan di daerah Barat." "Itu salah. Di situ ada beberapa orang yang lebih banyak pengalamannya daripada Anda atau saya." "Itu tidak mungkin. Siapakah yang Anda maksud?" "Pertama-tama tadi ada dua orang kulit putih yang tinggi kurus badannya, yang akan bermalam di situ. Yang seorang menyebut dirinya Timpe dan yang seorang lagi rupa-rupanya mempunyai nama yang sama." "Timpe? Pshaw! Tidak ada seorang prajurit gagah berani yang pernah mendengar nama itu." "Kemudian datang dua orang lagi yang namanya mengejutkan saya." "Uf! Hingga kini saya tidak pernah mengetahui bahwa putera anak saya dapat terkejut. Barangkali kedua orang itu bukan manusia, melainkan hantu savanna, atau hantu Rocky Mountains!" "Bukan, mereka itu manusia akan tetapi manusia yang istimewa! Yang seorang ialah orang kulit merah dan yang seorang ialah prajurit orang kulit putih yang paling masyhur." "Uf! Uf! Yang Anda maksud itu Winnetou dan Old Shatterhand?" "Ya, betul." "Mereka dibawa ke mari oleh Manitou yang jahat." "Bukan Manitou yang jahat, melainkan Manitou yang baik. Mula-mula saya terkejut, akan tetapi kemudian, setelah saya mendengar percakapan mereka, saya bergirang hati bahwa mereka datang ke mari." "Itu hendaknya Anda ceritakan, akan tetapi jangan di sini. Kita harus mundur lagi." "Mundur? Mengapa?" "Oleh karena saya tahu bagaimana cara kedua orang itu berpikir dan bagaimana biasanya mereka bertindak. Tiadakah mereka bercakap-cakap dengan Anda?" "Saya ditanyai oleh Winnetou. Ia tidak mau percaya bahwa nama saya Yato Inda. Saya disangkanya putera anak Anda. Kekurang-ajarannya itu nanti harus ditebusnya!" "Tajam sekali hidung orang Apache itu. Kini tentu saja ia sudah menaruh syak-wasangka. Sudah pasti ia mengikuti Anda untuk mengintai." "Saya kira tidak, ia tidak mempunyai alasan untuk berbuat begitu." "Winnetou selalu lekas menaruh curiga. Ia musuh terbesar bagi orang Comanche, tetapi kita belum pernah dapat menangkap dia. Awas, kalau ia jatuh ke tangan kita!" "Kalau begitu bukalah tangan Anda, sebab ia akan masuk ke dalamnya. Saya hendak mengatakan bahwa..." "Jangan sekarang dan jangan di sini!" sela ketua suku itu. "Kita harus mencari tempat lain, sebab Winnetou tentu akan berusaha mengintai kita." "Bukankah kita akan melihat dia, sekiranya ia melintasi pintu yang terang itu?" "Anda belum mengenal dia. Segala tindakannya selalu diperhitungkannya lebih dahulu. Ia tahu bahwa musuh yang mendekati tempat ini tentu akan berdiri di muka pintu, agar ia dapat melihat segala-galanya. Jadi Winnetou tentu akan datang ke mari, tetapi tidak melewati pintu. Tidak adakah tempat yang lain untuk meninggalkan ruang itu?" "Ada pintu kecil di sebelah belakang." "Ia akan mempergunakan pintu kecil itu. Kita harus menyeberang. Ayo!" Mereka menyuruk-nyuruk dengan mengeliling, tepat seperti yang diperbuat oleh Winnetou, akan tetapi mereka berputar ke arah yang sama sehingga tidak bersua. Akhirnya mereka berhenti di bawah sebuah pohon. Di sini pandu menceriterakan apa yang sudah didengarnya. Ketua suku itu mendengarkan laporannya dengan segala ketegangan dan setelah kisah itu habis, maka ia berseru kegirangan: "Mereka hendak pergi ke Aider-Spring? Besok malam akan ada di sana? Nah, kini dapat kita menangkap mereka! Mereka tidak akan dapat meloloskan diri. Alangkah girang hati kita semuanya, apabila kita dapat menyeret mereka ke kampung kita serta mengikat mereka di tiang siksaan. Mereka akan meraung-raung sebagai coyote*. (*Anjing prairi) Scalp kedua orang itu jauh lebih besar nilainya daripada kuncit orang-orang kulit kuning yang akan menjadi sasaran kita itu!" Karena kegirangan maka ia berbicara terus, akan tetapi cucunya segera menyela: "Ya, mereka akan kita tangkap dan akan kita siksa sampai mati, akan tetapi mengapa Anda akan melepaskan orang-orang Tionghoa yang hendak saya serahkan kepada Anda itu?" "O, mereka tidak akan saya lepaskan. Justru dengan maksud itu Anda sudah mengubah nama Anda dan sudah bekerja pada orang-orang kulit putih yang sedang membuat jalan kereta api itu. Kamipun datang ke mari hari ini justru untuk bertanya tiada dapatkah kita menyergap mereka dengan selekas-lekasnya." "Saya sudah bersiap-siap akan tetapi Anda hendaknya j angan lupa, apa yang sudah Anda janjikan!" "Jangan khawatir. Janji itu akan saya penuhi. Adakah kamu mengira bahwa saya akan menipu putera anak saya? Semua uang, emas dan perak adalah bagian Anda. Selainnya, pakaian, alat perkakas, bahan makanan dan lebih-lebih lagi kuncit orang-orang kulit kuning itu adalah milik kami. Kita sudah biasa dirampok dan dirampas milik kita oleh orang-orang kulit putih. Kita selalu terpaksa menyingkir oleh karena mereka lebih kuat daripada kita. Akan tetapi kini sudah datang pula orang kulit kuning membantu orang-orang kulit putih mendirikan jembatan dan jalan kereta api di atas tanah milik kita. Karena itu mereka harus menebus perbuatannya dengan nyawa dan prajurit-prajurit orang Comanche akan menjadi masyhur namanya bahwa mereka adalah orang kulit merah yang pertama yang akan memiliki scalp yang berkuncit. Tidak, kami tidak akan melepaskan mereka. Karena itu Anda harus memberi kami segala keterangan yang kami perlukan untuk menyergap mereka." Kemudian mereka merundingkan keadaan perkemahan itu serta memasang siasat bagaimana mereka akan menyerang para penghuni kemah Firewood itu. Kemudian Mustang Hitam memberi tanda kepada kedua pengikutnya supaya mendekat, sebab mereka sudah memencar untuk menjaga agar nenek dan cucu yang sedang berunding itu tidak akan diserang orang dengan sekonyong-konyong. Hasil perundingan itu ialah bahwa besok malam Old Shatterhand, Winnetou, Cas dan Has akan ditangkap di Aider-Spring. Saat orang-orang Comanche itu akan menyerang Firewood, akan diberitahukan kepada pandu oleh seorang utusan. Kemudian orang Mestis itu meminta diri lalu kembali ke barak. Mustang Hitam beserta dua orang pengikutnya kini pergi ke tempat di mana utusan mereka menurut perjanjian akan dapat menjumpainya. Sebentar kemudian utusan itu sudah ke luar dari barak, lalu memberitahukan dengan segala kemarahan betapa Old Shatterhand telah memperlakukan dia. Demi ia mendengar bahwa Old Shatterhand dan Winnetou bersama-sama dengan kedua orang Timpe akan ditangkap, maka ia berkata dengan girang hati: "Ia akan menyesali dirinya bahwa ia sudah berani memperlakukan saya secara tidak layak, saya akan membalas perbuatannya itu dengan sekejam-kejamnya." Baru saja orang-orang kulit merah itu hendak meninggalkan tempat mereka serta hendak pergi mengambil kudanya, maka mereka mendengar bunyi langkah orang. Segera mereka berbaring. Yang datang itu ialah dua orang dan mereka menuju ke arah tempat orang-orang kulit merah itu berbaring. Berturut-turut mereka tersandung pada tubuh orang-orang Indian yang berbaring di tanah, lalu dalam sekejap mata saja mereka sudah tertangkap serta terikat. "Jangan berteriak, kalau Anda tak mau kami bunuh!" demikian perintah ketua suku. "Siapakah Anda?" "Kami pekerja," jawab seorang dari mereka. "Bangkitlah, akan tetapi jikalau Anda ingin hidup terus, janganlah melangkah. Dengan maksud apa Anda menyuruk-nyuruk di sini dengan diam-diam? Jikalau Anda pekerja, maka seharusnya Anda ada di dalam." "Kami tidak menyuruk-nyuruk." "Bohong. Anda berjalan perlahan-lahan dengan sikap membungkuk. Apa yang Anda pegang itu?" "Bedil." "Bedil? Untuk apa pekerja membawa bedil? Berikan kepada kami; saya ingin melihatnya!" Bedil itu dirampasnya, diraba-rabanya, lalu diangkatnya satu demi satu, agar dapat dilihatnya dalam cahaya yang bersinar dari barak itu. "Uf! Uf! Uf!" serunya, walaupun perlahan-lahan akan tetapi dengan kegirangan. "Bedil ini ketiga-tiganya saya kenal; setiap orang kulit merah dan orang kulit putih yang mengembara di daerah Barat mengenalnya juga. Bedil yang bertatahkan perak ini ialah bedil perak Winnetou, musuh kami yang terbesar. Kedua bedil yang lain ini tentu milik orang kulit putih yang disebut Old Shatterhand. Yang kecil ini ialah bedil Henry dan yang besar ialah pembunuh-beruang. Betulkah dugaan saya itu?" Kedua orang Tionghoa itu tidak memberi jawab. Mereka mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan orang Indian. Mereka menggigil ketakutan. Bahkan mereka tidak berani mencoba melarikan diri. "Jawablah pertanyaan saya!" gertak ketua suku itu. "Adakah ini bedil Old Shatterhand dan Winnetou?" "Ya," jawab orang Tionghoa itu akhirnya. "Bedil-bedil ini Anda curi?" Orang Tionghoa itu bungkam lagi. "Anda ialah Wagare-Saritches*, (*Anjing kuning) kepada siapa pemburu-pemburu prairi itu tidak akan mau mempercayakan bedilnya. Jikalau Anda tidak mau mengaku, maka perut Anda akan segera saya tikam. Bukalah mulutmu!" Orang Tionghoa itu lekas-lekas menjawab: "Bedil-bedil itu kami ambil dengan diam-diam." "Uf! Winnetou dan Old Shatterhand rupa-rupanya merasa aman sekali bahwa mereka tidak memegang bedil mereka. Kamu adalah pencuri. Sudah sepatutnya kamu mendapat hukuman mati." Orang-orang Tionghoa itu segera berlutut minta ampun: "Ampun! Jangan kami Anda bunuh." "Sesungguhnya kamu harus saya bunuh, akan tetapi oleh karena kamu pengecut, sayang kami mengotori pisau kami dengan darahmu. Kamu akan kami biarkan hidup kalau kamu menuruti segala perintah saya." "Katakanlah apa yang Anda kehendaki. Segala perintah Anda akan kami patuhi." "Nah, katakanlah apa sebabnya kamu mencuri bedil-bedil ini? Kamu bukan pemburu. Untuk apa bedil itu?" "Akan kami jual, sebab kami mendengar bahwa bedil-bedil itu sangat mahal harganya." "Biarlah kami beli." "Bersungguh-sungguhkah Anda?" "Saya ketua suku orang Comanche. Nama saya Tokvi Kava, dalam bahasa orang kulit putih "Mustang Hitam." Sudah pernahkah engkau mendengar nama saya?" Ya, nama itu sudah sering disebut-sebut oleh orang-orang kulit putih pegawai kereta api. Apa yang pernah didengarnya tentang ketua suku itu selalu mengandung kejahatan dan bahaya, sehingga kedua orang Tionghoa itu terkejut sekali. Maka mereka menjawab: "Mustang Hitam? Ya, kami kenal Anda." "Jadi kamu tahu bahwa saya seorang ketua suku yang besar dan masyhur. Segala yang saya katakan adalah benar. Bedil-bedil itu akan saya beli dari kamu." "Berapa kami akan mendapat dari Anda?" "Lebih banyak daripada orang lain akan memberi Anda." "Lebih banyak?" "Ya, bedil-bedil itu akan saya bayar dengan nyawamu. Pencurian harus dihukum dengan hukuman mati menurut Undang-undang prairi. Akan tetapi saya bersedia menyerahkan jiwamu sebagai pembayaran untuk bedil-bedil ini." "Jiwa saja, tidak lebih?" tanya orang Tionghoa itu dengan sangat kecewa. "Belum cukupkah itu?" demikian orang kulit merah itu menggertak. "Dapatkah penjahat-penjahat seperti engkau ini menuntut lebih daripada jiwamu? Apa yang engkau kehendaki?" "Uang." "Uang? Jadi logam! Kalau engkau menghendaki logam, itu dapat saya berikan juga, yaitu logam pisau saya. Pisau itu tajam dan runcing. Betul-betul itukah yang engkau kehendaki?" "Bukan, bukan! Jangan kami Anda bunuh!" seru orang Tionghoa itu. "Kami ingin hidup terus. Ambillah bedil-bedil itu!" "Nah, kini engkau baru mengerti. Lain daripada itu masih ada perintah saya yang harus engkau jalankan. Old Shatterhand dan Winnetou akan segera mengetahui bahwa bedilnya hilang. Mereka akan menjadi gempar serta akan mencari dan bertanya-tanya. Apa yang hendak kau perbuat?" "Kami akan bungkam." "Itu baik. Jangan engkau berani mengatakan dengan sepatah kata juapun apa yang sudah terjadi di sini, apabila engkau ingin hidup terus. Jangan pula engkau mengatakan bahwa engkau telah bertemu dengan kami. Jikalau mereka tahu bahwa engkau telah mencuri bedil mereka, celakalah engkau berdua. Kamu berdua akan mematuhi perintah saya?" "Kami tidak akan membuka mulut kami." "Satu pertanyaan lagi: sudah pernahkah engkau mendengar nama Iltschie dan Hatatitla?" "Belum." "Itu nama kuda Winnetou dan Old Shatterhand. Tahukah kamu adakah kuda-kuda itu di sini?" "Itu kami tidak tahu. Yang Anda maksud itu dua kuda hitam yang lubang hidungnya berwarna merah?" "Betul. Engkau sudah melihatnya?" "Tidak, akan tetapi seorang pemburu ada menyebut-nyebutnya ketika ia sedang berdiri di muka pintu." "Di manakah kuda itu?" "Di gudang, di belakang barak kami. Kami ada mendengar bahwa kuda itu dibawa ke sana." "Nah, percakapan kita sudah selesai. Awas, tutup mulutmu; jadi Anda tidak ada melihat atau mendengar apa-apa. Pergilah sekarang." Kedua orang Tionghoa itu disepak oleh ketua suku Comanche, lalu berlari-lari pergi menyelamatkan dirinya ke arah barak. "Uf, mujur benar kita hari ini!" kata ketua suku itu dengan suara yang mengandung kepuasan. "Kita sudah memperoleh bedil khasiat, bedil pembunuh-beruang dan bedil perak. Kini kita akan segera mengambil kuda mereka." "Tokvi Kava hendak pergi ke gudang tempat kuda-kuda itu disimpan?" tanya orang kulit merah yang mengaku bernama Juwaruwa tadi. "Adakah saudara saya mengira bahwa kuda mereka itu akan saya biarkan begitu saja? Kecuali mustang saya di seluruh daerah Barat ini tidak ada kuda sebagus kuda mereka. Kuda itu sama besar harganya dengan bedil-bedil ini." "Tokvi Kava jangan lupa hendaknya bahwa usaha itu hanya dapat dilakukan dengan pertumpahan darah." "Mengapa begitu?" "Winnetou dan Old Shatterhand tentu menempatkan penjagaan di muka gudang." "Kita akan merangkak dengan diam-diam dan penjaga itu akan kita bunuh. Barangkali kuda itu tidak terjaga, oleh karena tersimpan baik-baik dalam gudang yang tertutup." Ya, benar dugaan Tokvi Kava itu. Insinyur sudah menjanjikan akan menempatkan penjagaan, akan tetapi ia lupa melaksanakannya. Dengan diam-diam sekali orang-orang kulit merah itu menyuruk-nyuruk mendekati gudang. Pintu gudang itu ternyata tidak terkunci, melainkan tertutup belaka dengan palang. Mereka memasang telinganya. Dari dalam kadang-kadang kedengaran bunyi depak kaki kuda, tetapi bunyi lain tidak ada. Lagipula gudang itu gelap. Sekiranya di dalam ada seorang penjaga, maka pasti penjaga itu akan memasang lampu. Ketua suku itu membuka palang dan setelah pintu terbuka sedikit maka ia menyisi, sehingga tidak dapat terlihat dari dalam. Beberapa kali ia memanggil-manggil dalam bahasa Inggeris. Sekiranya ada seorang penjaga di dalam, maka niscaya ia akan menjawab. Akan tetapi tidak ada orang menjawab. Kemudian keempat orang kulit merah itu masuk. Kuda kedua Timpe ada di belakang sekali. Kedua ekor kuda Winnetou dan Old Shatterhand berdiri di dekat pintu. Walaupun ruang gudang itu gelap sekali, namun Tokvi Kava segera dapat mengetahui di mana kuda yang hendak diambilnya. "Nah, ini dia," katanya. "Hati-hati! Kuda itu tidak boleh kita tunggangi, sebab kita tidak dikenalnya. Kita pimpin saja dan lekas-lekas kita keluar, sebab apabila binatang-binatang ini tahu bahwa kita bukan tuannya, maka mereka akan melawan." Dengan hati-hati sekali ikatan kedua ekor kuda hitam itu dilepaskan. Kemudian dengan perlahan-lahan dipimpin ke luar. Kedua kuda itu mengikut tanpa memberi perlawanan, akan tetapi rupa-rupanya mereka menaruh curiga juga. Pintu segera ditutup kembali dan orang-orang Indian itu lekas-lekas pergi membawa hasil pencuriannya yang sangat berharga itu. Oleh karena tanah sudah menjadi becek karena hujan, maka bunyi depak kuda itu tidak kedengaran. Bukan main senang hati Tokvi Kava! Usahanya sudah berhasil semuanya. Ia merasa bangga bahwa kini ia sudah memiliki apa-apa yang oleh penduduk seluruh daerah Barat dipandang sebagai harta-benda yang paling berharga. Ia yakin bahwa ia sudah bertindak dengan cerdik sekali. Tetapi sesungguhnya dugaannya itu salah. Ia kurang memperhitungkan kecerdikan kedua binatang yang telah dapat dicurinya. Kedua kuda itu tidak biasa mematuhi orang lain kecuali tuan mereka. Akan tetapi kesalahan yang terbesar ialah bahwa ia sudah menyebutkan namanya kepada kedua orang Tionghoa yang sudah dilepaskannya. Betul ia yakin bahwa kedua orang itu tidak akan berani membuka rahasianya, akan tetapi terhadap musuh sebagai Winnetou dan Old Shatterhand perbuatannya itu adalah sangat tidak hati-hati. IV IK SENANDA LARI Sudah pernahkah pembaca mendengar atau membaca tentang "Mustang Putih?". Nama itu seringkah terdapat dalam buku yang dikarang oleh penulis-penulis daerah Wild West. Saya sendiri sudah sering mendengar dari pemburu-pemburu prairi orang kulit putih dan dari orang-orang kulit merah, bahwa mereka pernah melihat "mustang putih" dan tiada pernah saya menyangsikan kebenaran cerita itu. Yang mereka sebut "mustang putih" itu ialah seekor kuda berwarna putih yang masih liar, yang mempunyai sifat-sifat istimewa, yang sedemikian cepat larinya, sehingga tidak dapat disusul oleh kuda lain, yang tiada dapat dilihat dari dekat. Mustang putih itu sangat tajam matanya; ia dapat melihat apa yang tersembunyi di belakang semak-semak yang paling lebat. Pendengarannya sangat tajam pula; bunyi yang selemah-lemahnya pun dapat didengarnya dari jarak beratus-ratus meter. Apalagi daya penciumnya! Lubang hidung mereka yang berwarna merah dapat mencium orang dari jarak yang jauh sekali. Belum ada seorang pemburu yang dapat menangkap mustang putih dengan lasso. Jikalau sekali-sekali mereka dapat menangkap seekor mustang putih, maka itu tak lain daripada kuda liar yang sudah tua sekali, yang sudah hilang kekuatannya dan yang sudah dekat sekali pada liang kuburnya. Mustang putih yang sejati mengembara di padang prairi sebagai hantu terbang di atas rumput; sebentar tampak sebentar kemudian sudah menghilang. Sekali-kali ia mendekati seorang pemburu. Tampaknya ia hendak membiarkan dirinya ditangkap orang, akan tetapi selalu ia menghindar dan sampai jauh sekali ia dikejar oleh pemburu, tanpa pernah tersusul. Akhirnya pemburu itu insaf bahwa ia ditipu. Mustang putih itu berbuat demikian dengan maksud memikat pemburu itu agar ia pergi jauh-jauh dari kawanan kuda yang dipimpin oleh mustang putih itu. Memang, mustang putih itu termasuk kuda liar yang paling cerdik, paling cepat larinya, paling kuat dan paling tahan. Akan tetapi jarang sekali orang menghendaki mustang putih, sebab warnanya yang putih itu lekas tampak dari jarak jauh, padahal di daerah padang prairi orang ingin menyembunyikan diri. Barangsiapa dapat dilihat musuh dari jauh, akan selalu menghadapi bahaya. Semasa Winnetou dan Old Shatterhand ada juga mustang hitam. Mustang hitam itu bukan kuda liar, melainkan kuda yang dijinakkan dan dilatih secara Indian. Mustang hitam yang pertama adalah milik ketua suku Comanche, Naiini. Kuda itu masyhur sekali. Belum pernah orang mendengar bahwa kuda itu pernah mendapat luka, pernah jatuh, atau pernah tersusul oleh kuda lain. Sejak jaman nenek-moyang orang-orang Comanche Naiini, ketua suku mereka sudah mengendarai mustang hitam. Menurut dongeng mereka penunggangnya belum pernah terlukai. Selalu ia dapat menyelamatkan diri dari segala peperangan. Akhirnya mustang hitam itu menjadi pusaka, namanya dijunjung orang sebagai nama seorang pahlawan dari masa silam. Itulah sebabnya maka ketua suku Comanche jaman sekarang menyebut dirinya Tokvi Kava, Mustang Hitam. Setiap orang Indian percaya bahwa ketua suku yang mempunyai nama itu niscaya mempunyai kesaktian seperti yang dimiliki oleh tunggangan nenek-moyang mereka. Karena kepercayaan itulah maka ketua suku Comanche disegani orang, bahkan sangat ditakuti. Banyak suku Indian tidak berani bermusuhan dengan suku Comanche oleh karena mereka percaya bahwa ketua suku Comanche itu kebal terhadap segala senjata apabila ia menunggangi kudanya. Ia tidak terkalahkan. Karena itu maka Tokvi Kava menjadi congkak dan takabur, sehingga akhirnya ia terkenal sebagai orang yang bengis sekali. Ia menjadi musuh yang sangat ditakuti oleh sekalian orang kulit putih. Akhirnya ia percaya bahwa tidak ada seorangpun dapat melawan dia. Maka kini kiranya pembaca dapat memahami apa yang dimaksud oleh Tokvi Kava ketika ia berkata: "Kecuali tunggangan saya, kuda kedua orang itu adalah kuda yang terbaik diseluruh daerah Wild West." Dengan kata-kata itu ia bermaksud mengatakan bahwa kuda tunggangannya melebihi kuda Winnetou dan Old Shatterhand. Adakah benar atau tidak pendapatnya itu, itu akan terbukti dari kejadian-kejadian yang masih akan datang. Tetapi pada malam itu juga ia akan menyaksikan, bahwa terhadap satu hal pendapatnya itu salah, yakni bahwa ia mengira bahwa kuda Winnetou dan Old Shatterhand dapat dicuri dengan mudah sekali. Malam itu para penghuni perkemahan Firewood tidak lekas pergi tidur. Oleh karena mereka mempunyai beberapa orang tamu yang terhormat, maka sesudah makan mereka masih terus bercakap-cakap. Gemar sekali mereka mendengarkan ceritera pengembaraan kedua Timpe dan ceritera Winnetou dan Old Shatterhand. Semua orang menaruh minat yang besar. Orang Mestis pun ikut mendengarkan dengan perhatian yang besar, akan tetapi ia berdiam diri saja, tidak mencampuri percakapan. Winnetou dan Old Shatterhand tampaknya tidak mengindahkan orang itu. Itu hanya tampaknya saja, sesungguhnya pandu itu diamat-amatinya dengan sangat saksama, sehingga tak sebuah gerak badannya luput dari pengamatannya. Cas sedang asyik berceritera ketika tiba-tiba Winnetou memberi isyarat kepadanya supaya berdiam diri. "Ada apa?" tanyanya. "Mengapa saya tidak boleh melanjutkan ceritera saya?" "Diam!" jawab ketua suku Apache itu. "Saya mendengar orang berkuda datang." Mereka memasang telinganya. Betul, kini mereka mendengar bunyi depak kuda. Sebentar kemudian bunyi itu sudah kedengaran di muka pintu, lalu suasana sunyi kembali. Maka mereka mendengar bunyi kuda mendengus-dengus. "Uf!" seru Winnetou, seraya lekas-lekas bangkit. "Itu bukan kuda asing." Old Shatterhand pun telah bangkit lalu berkata: "Ya, itu kuda kita. Bagaimana maka mereka sampai ke mari? Tuan insinyur, Anda tidak memasang penjagaan?" "Belum." "Mengapa belum? Anda sudah berjanji! Kalau tidak salah, pintu gudang itu Anda tutup dengan palang, ketika kita pergi, bukankah begitu?" "Ya, karena itu maka saya berpendapat tak usah saya tergesa-gesa memasang penjagaan." "Di daerah Barat ini tidak boleh kita menangguhkan pelaksanaan penjagaan!" "Saya kira ada seorang pekerja yang sudah membuka pintu. Karena itu maka kuda Anda lepas." "Lepas? Kuda itu terikat erat-erat, Sir! Orang yang membuka pintu itu sudah melepaskan ikatan kuda kami. Itu sangat mencurigakan. Bolehkah saya membawa lentera itu, Sir?" Kata-kata itu ditujukan kepada penjaga kantin. Lentera yang dimaksud oleh Old Shatterhand itu tergantung pada sebuah paku di atas kantin. Lentera itu segera dipasangnya, lalu Old Shatterhand mengikuti Winnetou pergi ke luar. Semuanya mengikuti mereka dari belakang, demikian juga pandu yang tidak mengetahui bahwa neneknya sebentar tadi telah mencuri binatang-binatang itu. Betul, di muka pintu berdiri kuda Winnetou dan kuda Old Shatterhand. Mereka mendengus-dengus, mengibas-ngibaskan ekornya, lalu mengangkat kedua kaki depannya sebagai pemberi salam kepada tuannya. Old Shatterhand mengangkat lenteranya lalu berseru keheran-heranan: "Astaga! Kuda itu tidak datang dari gudang! Lihatlah punggungnya, penuh dengan lumpur. Mereka sudah berlari cepat, rupa-rupanya sudah menempuh jarak yang jauh. Tetapi ke mana mereka tadi pergi dan dengan siapa?" "Dengan siapa?" tanya insinyur dengan heran. "Tidak dengan siapa-siapa, itu sudah jelas. Siapakah yang akan mau berjalan-jalan menunggangi kuda yang asing baginya di dalam gelap-gulita ini?" "Berjalan-jalan? Saya ingin mengetahui siapa berani dan dapat menunggangi kuda orang, lihatlah punggungnya kotor." "Kalau begitu benar dugaan saya. Ada orang membuka gudang, kuda-kuda ini melepaskan diri dari ikatannya lalu lari. Mereka berputar-putar di luar, lalu balik kembali, Akan tetapi akan segera saya selidiki siapa yang membuka gudang itu. Ia akan saya marahi." "Kuda tidak melepaskan diri dari ikatannya, lagipula mereka tidak akan berjalan-jalan, kalau tidak kami beri perintah." Kini Winnetou menunjuk kepada tali kekang kudanya seraya berkata dengan tenang: "Betul kata saudara saya orang kulit putih. Kuda itu sudah melepaskan diri, akan tetapi tidak di dalam gudang melainkan di tengah jalan." Pada tali kekang kuda itu ada terikat seutas tali yang rupa-rupanya telah putus. Old Shatterhand segera memeriksai tali itu. Ia melayangkan pandangnya ke arah Winnetou lalu berkata kepada insinyur: "Ya, pendapat Anda benar, Sir. Dugaan Winnetou salah, satu hal yang jarang terjadi. Kuda kami ini melepaskan diri di dalam gudang. Marilah. Binatang-binatang ini akan kami ikat lebih erat lagi. Tuan-tuan yang lain boleh masuk kembali." Kata-kata itu diucapkannya dengan suara yang sangat tenang, sehingga opseter, kepala gudang, orang Mestis dan orang-orang lain masuk lagi ke barak dengan hati yang lega. Cas dan Has hendak mengikuti Old Shatterhand, akan tetapi Old Shatterhand segera berbisik-bisik: "Anda hendaknya segera ikut masuk serta bercakap-cakap dengan orang peranakan itu sampai kami kembali." "Untuk apa, Mr. Shatterhand?" tanya Cas. "Itu akan saya katakan nanti. Akan tetapi orang itu hendaknya Anda awasi benar. Jagalah jangan ia menaruh curiga." "Tetapi apabila ia memaksa hendak pergi, haruskah kami mempergunakan kekerasan?" "Jangan, akan tetapi bagi seseorang seperti Anda tentu tidaklah sukar untuk memikat perhatiannya dengan ceritera yang menarik." "Baiklah. Akan saya usahakan. Saya kira tidak sukar juga, seperti tempo hari pada ahli waris Timpe. Marilah Has!" Mereka segera masuk. Winnetou memimpin kedua ekor kuda itu pada tali kekangnya. Old Shatterhand berjalan di muka dengan lentera. Insinyur berjalan di sebelahnya dan, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata: "Saya tidak mengerti, Sir. Mula-mula Anda bersikap tenang sekali serta membenarkan pendapat saya, akan tetapi kemudian Anda memberi perintah kepada dua orang tuan tadi seakan-akan Anda mencurigai Yato Inda." "Ya, saya sudah berbuat pura-pura. Kuda ini sudah dicuri orang, akan tetapi di tengah jalan dapat melepaskan diri." "Mustahil!" "Betul kata saya, Anda boleh percaya!" "Dan sekiranya dugaan Anda benar, Yato Inda itu pencurinya?" "Bukan, ia hanya kaki-tangan pencuri." "Saya yakin bahwa ia jujur." "Dan saya yakin bahwa namanya bukan Yato Inda melainkan Ik Senanda dan bahwa ia adalah cucu Mustang Hitam. Marilah kita segera masuk ke gudang. Di sana kita akan segera mengetahui siapa yang melakukan pencurian." "Bagaimana Anda dapat mengetahuinya?" "Itu akan dikatakan kepada saya oleh tanah yang becek ini. Tanah ini akan mengandung jejak." "Saya tidak mempunyai pengetahuan sama sekali tentang jejak. Dalam hal itu Anda berpengalaman sekali. Walaupun begitu saya masih tetap pada dugaan saya, bahwa Anda telah mendakwa orang Mestis itu tanpa alasan." "Tunggu sajalah, Sir!" Sambil bercakap-cakap sampailah mereka ke muka gudang. Insinyur hendak segera masuk. Ia ditahan oleh Old Shatterhand yang segera berkata: "Jangan tergesa-gesa! Anda dapat merubah atau menghapuskan jejak." "Baiklah. Waktu kita lapang sekali." Old Shatterhand berjalan berputar agar jangan langsung, melainkan dari sebelah belakang mendekati pintu dan dengan demikian tidak mungkin merusak jejak. Demi sampai ke pintu maka segera ia menerangi tanah. Winnetou meninggalkan kudanya lalu mendekat pula serta membungkukkan badannya. "Uf!" serunya. "Ini jejak moccasin Indian." "Tepat seperti yang telah saya duga," jawab Old Shatterhand dengan mengangguk. "Ada orang kulit merah datang ke mari. Tetapi berapa banyak jumlahnya?" "Saudara saya dapat melihatnya apabila kita mengikuti jejak itu mulai dari gudang. Jejak orang dan jejak kuda bercampur-baur di sini." "Kita tinggal di sini sebentar! Jejak kuda itu menunjukkan dengan jelas bahwa mereka berjalan perlahan-lahan. Mereka tentu tidak akan berbuat begitu sekiranya mereka lari sesudah dapat melepaskan diri dari ikatannya. Kuda itu dipimpin orang dengan hati-hati ke luar gudang." "Akan tetapi pintu itu tertutup baik-baik dengan palang," kata Winnetou sambil menunjuk ke arah pintu. "Suatu bukti lagi bahwa kuda kita dicuri orang. Kuda tidak dapat membuka palang!" "Tetapi manusia dapat berbuat begitu," sela insinyur. "Tentu saja ada seorang pekerja datang kemari dengan diam-diam untuk mengambil sesuatu dari dalam gudang. Kesempatan itu dipergunakan oleh kuda untuk melepaskan diri." "Kalau benar begitu maka pekerja itu tentu akan berlari-lari pergi memberitahukannya kepada kita!" "Barangkali ia takut akan dimarahi." "Pshaw! Jejak itu akan menunjukkan siapa yang benar, Anda atau saya. Berapa banyak jumlah pekerja Anda orang kulit putih, Sir?" "Sebanyak yang Anda lihat di dalam kantin." "Semuanya ada di sana?" "Ya, semuanya." "Tidak seorangpun meninggalkan kantin. Jadi sekiranya benar-benar ada pekerja datang ke mari, maka orang itu tentu seorang Tionghoa." "Saya kira begitu." "Orang-orang Tionghoa itu memakai sepatu apa?" "Sandal Tionghoa dengan telapak yang tebal sekali." "Sandal yang demikian memberi jejak yang istimewa, yang niscaya akan kita kenali. Tetapi itu dapat kita periksa lebih lanjut nanti. Marilah kita masuk dahulu." Mereka membuka pintu lalu masuk. Di dalam tidak ada kelihatan apa-apa. Pencuri-pencuri itu tidak meninggalkan jejak di sana. Maka kedua ekor kuda itu ditambatkan kembali pada tempatnya, lalu ketiga orang itu melanjutkan penyelidikannya di luar gudang. Mereka mengikuti jejak mulai dari pintu gudang. Baru saja mereka menjejakkan beberapa langkah, maka tampak oleh mereka bahwa jejak itu berpisah. Yang membelok ke sebelah kanan ialah jejak manusia dan jejak binatang, akan tetapi yang membelok ke arah kiri hanyalah jejak manusia belaka. "Mereka datang dari sana," kata Old Shatterhand. "Dapatkah saudara saya Winnetou melihat, jejak berapa orangkah itu?" Ketua suku Apache itu mengamat-amati jejak yang dimaksud oleh Old Shatterhand, lalu menjawab: "Orang-orang kulit merah ini sama sekali tidak hati-hati; mereka tidak berjalan berurutan sehingga tampak dengan jelas bahwa jumlah mereka ada empat orang. Marilah kita ikuti terus. Jejak itu menuju ke sebelah belakang barak kantin." Tidak lama kemudian sampailah mereka pada tempat di mana dua orang Tionghoa tadi bertemu dengan orang-orang Indian. Old Shatterhand menerangi jejak itu dengan lampunya. "Uf!" seru Winnetou. "Orang-orang kulit merah itu berhenti di sini beberapa lamanya dan bercakap-cakap dengan dua orang Tionghoa. Di sini saya lihat jejak telapak sandal yang tebal." "Nah, salahkah pendapat saya?" kata insinyur. "Yang masuk ke dalam gudang itu ialah pekerja saya!" "Salah!" kata Old Shatterhand dengan suara yang mengandung rasa kesal oleh karena insinyur itu masih juga tidak mau melepaskan dugaannya yang salah. "Kedua orang Tionghoa ini tidak masuk ke dalam gudang, sebab jejak mereka tidak menuju ke sana. Anda dapat melihat sendiri bahwa mereka hanya berjalan sampai di sini; kemudian mereka balik kembali. Saya minta dengan sangat sudi kiranya Anda melepaskan pandangan Anda yang salah. Tempat ini sudah dikunjungi oleh orang Indian yakni orang Comanche. Ini penting sekali bagi Anda!" "Pshaw! Barangkali orang Indian yang lapar, yang mencari makanan dan secara kebetulan saja masuk ke gudang tempat kuda Anda." "Jikalau begitu halnya maka saya akan merasa senang, akan tetapi saya khawatir bahwa soalnya berlainan sekali. Rupa-rupanya orang kulit merah ini mempunyai hubungan rahasia dengan pekerja Anda orang Tionghoa." "Oho!" "Ya! Bukankah Anda melihat sendiri bahwa mereka sudah bercakap-cakap. Jikalau mereka tidak ada mempunyai hubungan dengan orang-orang Indian itu, maka sudah pasti mereka akan dibunuh." "Betulkah itu pendapat Anda, Sir?" "Ya! Dan lihatlah ini: mula-mula di sini hanya ada tiga orang kulit merah, yang keempat datang ke mari dari barak kantin. Dapatkah Anda menerka siapa orang itu?" "Barangkali orang yang menyebut dirinya Juwaruwa, yang tadi hendak Anda tahan di dalam." "Ya, tepat." "Saya ingin sekali mengetahui orang-orang Tionghoa yang mana yang sudah datang ke mari ini!" "Mereka tentu tidak akan mau mengaku. Walaupun begitu itu nanti akan saya ketahui juga." "Dari jejak itu?" "Barangkali, tetapi barangkali tidak juga, akan tetapi pasti dengan cara yang lain. Tetapi marilah kita meneruskan penyelidikan kita tentang jejak orang-orang kulit merah itu. Mari ikut!" Kini mereka tidak lagi mengikuti jejak empat orang, melainkan jejak yang dibuat oleh tiga orang, sampai mereka tiba di tempat di mana Tokvi Kava paling akhir berbicara dengan Mestis dan dari mana Mestis itu kembali ke barak kantin. Dari sana jejak itu menuju ke sebelah depan barak kantin, ke tempat di mana orang-orang Comanche menunggu kedatangan Mestis itu; demi tempat itu diselidiki, maka Old Shatterhand berseru: "Kini semuanya sudah jelas bagi saya. Ada empat orang Comanche datang ke mari. Tiga orang menunggu di sini; yang keempat masuk ke dalam barak untuk memberi isyarat kepada Mestis bahwa ia harus ke luar. Mestis itu datang ke mari, akan tetapi oleh karena mereka itu tidak merasa aman di sini, maka mereka pindah ke sebelah belakang barak kantin. Itulah sebabnya maka saudara saya Winnetou tidak mendapatkan apa-apa ketika ia pergi menyelidik. Mestis itu mengadakan perundingan dengan ketiga orang kulit merah lalu pulang kembali. Ketika orang Indian pergi ke tempat di mana mereka mengharapkan kedatangan Juwaruwa. Mata-mata itu segera datang dan ketika mereka hendak pergi, maka secara kebetulan sekali mereka bertemu dengan dua orang Tionghoa itu." "Untuk apa orang kulit kuning itu datang ke mari?" tanya insinyur. "Itu harus mereka ceriterakan kepada kita," jawab Old Shatterhand. "Akan tetapi kita masih belum mengetahui siapa kedua orang Tionghoa itu." "Oh, itu tidak sukar untuk mengetahuinya. Jangan Anda khawatir!" "Tidak akan kita selidiki teruskah jejak mereka?" "Tidak sekarang. Kini kita harus berbicara dengan Mestis. Kita harus menjaga jangan hendaknya ia lari." "Lari?" tanya insinyur itu dengan heran. "Apa sebabnya Anda mengira bahwa ia akan lari?" "Herankah Anda?" "Ya dan tidak! Sekiranya ia benar-benar orang baik-baik seperti yang saya sangka, maka ia tidak usah lari. Akan tetapi sekiranya ia seorang penjahat yang hendak menyerahkan kita ke tangan orang Indian, maka ia jangan sampai mendapat kesempatan untuk melarikan diri." "Pendapat saya agak berlainan sedikit. Ia cucu Tokvi Kava, ketua suku orang Comanche dan menyamar diri sebagai orang baik-baik; maka ia sudah mendapat pekerjaan dari Anda. Dengan demikian ia dapat membuat persiapan untuk menyerahkan Anda semuanya ke tangan neneknya. Ketua suku itu hari ini mengirimkan empat orang utusan, atau boleh jadi juga ia sendiri sudah datang ke mari untuk merundingkan waktu dan cara mereka akan menyergap Anda. Pada dugaan saya Tokvi Kava sendiri sudah datang ke mari. Bagaimana pendapat saudara saya Winnetou?" "Betul! Mustang Hitam sudah datang ke mari," jawabnya dengan pasti. "Hanya seorang prajurit sebagai dia dapat memperoleh akal untuk mencuri kuda kita. Ia sudah mendengar bahwa kita ada di sini. Karena itu maka ia akan menunda maksudnya menyerang perkemahan ini sampai kita pergi. Akan tetapi bagi keamanan para penghuni perkemahan ini perlu sekali kita mengetahui apa maksudnya yang sebenarnya terhadap pekerja-pekerja di sini dan ia hendak melaksanakan rencananya, akan tetapi itu tidak dapat kita ketahui apabila Mestis itu tinggal di sini." "Sir," jawab insinyur itu dengan suara yang mengandung ketidak-percayaan. "Apa yang Anda katakan itu adalah teka-teki bagi saya. Saya terkejut sekali mendengar dari Anda bahwa orang-orang kulit merah itu mempunyai maksud jahat terhadap kami, sebab sekiranya tidak begitu maka mereka niscaya tidak akan mengirimkan utusannya ke mari. Akan tetapi apa yang harus saya ketahui tentang hal itu, saya kira hanya dapat saya ketahui dari mulut Mestis, itupun sekiranya ia benar-benar kaki-tangan orang kulit merah." "Anda mengira bahwa ia akan mengatakan kepada Anda?" "Ia akan saya paksa." "Sir! Saya ingin mengetahui bagaimana Anda akan menjalankannya." "Anda harus membantu saya, Sir." "Saya tidak dapat, sebab ia tidak akan mau juga mengatakannya kepada saya. Saya hanya tahu satu akal saja yang pasti akan memberi hasil. Ia harus kita pertakut-takuti sehingga melarikan diri." "Akan tetapi kalau ia pergi, maka niscaya kita tidak akan mengetahui apa-apa, Mr. Shatterhand!" "Sebaliknya! Tidakkah Anda mendengar bahwa kami bermaksud akan pergi ke Aider-Spring besok pagi-pagi?" "Ya." "Mestis itu ada mendengarnya juga. Itu tentu sudah diberitahukannya kepada orang-orang kulit merah. Saya yakin bahwa mereka akan pergi ke sana untuk mengintai dan menangkap kami. Akan tetapi kami akan bertukar peranan, kami yang mengintai mereka." "Sir, itu berbahaya sekali!" "Tidak bagi kami dan bagi Anda ada keuntungannya, yakni bahwa Anda akan mengetahui apa yang dapat Anda harapkan." "Bagaimana saya dapat mengetahuinya? Anda akan balik ke mari?" "Jikalau kami mendengar bahwa Anda ada dalam bahaya, maka kami pasti akan kembali ke mari untuk membantu Anda. Akan tetapi Anda harus bersedia melepaskan Mestis itu hari ini juga." "Bagaimana jikalau ia tidak lari?" "Ia tentu akan lari. Di mana ia biasanya tidur? Bersama-sama dengan pekerja-pekerja Anda?" "Tidak, ia mempunyai semacam wigwam* (*Kemah Indian) di balik semak-semak di sana itu." "Aha! Agar ia dapat menjalankan siasatnya dengan leluasa. Adakah ia mempunyai kuda?" "Ya, kuda itu tertambat pada tonggak kecil di dekat wigwamnya." "Baik. Saudara saya Winnetou akan pergi ke sana serta bersembunyi agar dapat mengintai benar-benarkah orang Mestis itu nanti pergi atau tidak. Saya akan balik ke barak kantin untuk mempertakut-takuti dia. Dalam pada itu saya mempunyai pesan bagi Anda, Sir. Hendaknya Anda jangan mencampuri percakapan saya dengan orang peranakan itu. Ia harus tetap mengira bahwa kita tidak tahu bahwa kuda kami sudah dicuri oleh orang Indian. Sebaliknya ia harus mengira bahwa kami berpendapat bahwa kuda itu telah melepaskan sendiri ikatannya." "Baik. Tetapi bolehkah saya ikut dengan Anda?" "Ya, akan tetapi lebih dahulu hendaknya Anda menjelaskan kepada Winnetou di mana letak wigwam itu." Selama itu Winnetou hampir tidak mencampuri percakapan Old Shatterhand. Kini ia mendengarkan dengan tenang keterangan insinyur tentang letak wigwam orang peranakan. Memang itu sudah menjadi adat Winnetou. Bagi Old Shatterhand itu adalah bukti bahwa Winnetou sependapat benar dengan dia. Demi ketua suku Apache itu pergi maka Old Shatterhand dan insinyur bersama-sama masuk ke dalam barak kantin. Di sana mereka mendapati Mestis sedang berbicara dengan asyiknya dengan kedua Timpe yang sudah berhasil memikat minatnya. Orang Mestis itu melayangkan pandang yang mengandung curiga ke arah Old Shatterhand, akan tetapi pemburu prairi ini berbuat seakan-akan ia tidak melihatnya. Cas menghentikan ceriteranya, lalu bertanya: "Bagaimana, Mr. Shatterhand? Siapa yang benar, Anda atau Winnetou?" "Saya. Kuda itu ternyata tidak dicuri orang. Kami lupa memasang palang pintu, rupa-rupanya ada binatang masuk sehingga kuda itu menjadi takut. Mereka telah melepaskan diri dari ikatannya lalu lari. Untung sekali mereka balik ke mari. Soal itu tidak usah kita cemaskan, akan tetapi ada suatu hal lagi yang harus membuat kita bersikap hati-hati." "Soal apakah itu?" "Kita sudah dikunjungi orang kulit merah." "Hanya seorang? Orang Indian yang menyebut dirinya Juwaruwa itu?" "Ia tidak seorang diri. Ia ditemani oleh tiga orang kulit merah lagi, yang menunggu di luar." "Astaga!" seru Cas. "Masih ada tiga orang lagi! Jadi kalau begitu orang kulit merah itu seorang mata-mata?" "Ya, dan saya yakin bahwa di tengah-tengah kita ada kaki-tangan orang kulit merah." "AU devils! Betulkah itu? Siapa orang itu?" "Saya sudah tahu. Tanyakan sajalah kepada Yato Inda yang duduk di sebelah Anda itu. Ia tahu juga." Dengan segera orang Mestis itu berpaling ke arah Old Shatterhand serta memandang dengan mata yang berkilat-kilat, lalu bertanya: "Saya tahu apa, Sir?" "Bahwa di sini ada kaki-tangan orang kulit merah." "Saya tidak tahu-menahu." "Tuan-tuan, saya persilakan Anda mengikuti saya. Saya hendak memperlihatkan sesuatu kepada Anda. Yato Inda harus ikut juga." "Di mana Mr. Winnetou?" tanya Cas. "Di gudang, mengurus kuda supaya tidak akan lari lagi." Mereka semuanya pergi ke luar, akan tetapi orang Mestis itu tidak bangkit dari tempat duduknya. Demi Old Shatterhand sampai ke pintu, maka ia menoleh, lalu berkata kepada peranakan itu: "Saya mengajak Anda semuanya mengikuti saya. Barang-siapa tinggal di sini, akan berurusan dengan saya. Saya tidak bersenda-gurau." Pandang mata Old Shatterhand yang mengandung ancaman jauh lebih jelas lagi daripada kata-kata yang diucapkannya itu. Mestis itu bangkit lalu ikut ke luar. Old Shatterhand mengangkat lenteranya untuk menerangi jejak kaki Mestis ketika orang peranakan itu tadi meninggalkan barak kantin untuk pergi mendapatkan orang-orang Comanche yang menunggu dia. Maka Old Shatterhand berkata: "Perhatikanlah jejak itu, tuan-tuan! Itu jejak bedebah yang hendak mencelakakan kita. Nanti saya akan tunjukkan kaki siapa sesuai benar pada jejak ini; maka orang itu nanti akan kita keroyok." "Ia hendak mencelakakan kita?" tanya opseter itu dengan terkejut. "Dengan jalan bagaimana?" "Ia bersekutu dengan orang-orang kulit merah yang bersikap bermusuhan terhadap kita dan yang hendak menyerang perkemahan kita. Orang itu menyamar diri dengan nama palsu sehingga dengan demikian ia dapat masuk ke dalam kalangan kita supaya nanti dapat mempermudah melaksanakan rencana menyerang kita." "Bersekutu dengan orang kulit merah? Mungkinkah itu?" "Ya, orang kulit merah yang datang ke mari tadi, adalah mata-mata yang harus memanggil sekutu orang kulit merah itu. Kami melihat mereka saling memberi tanda." "Siapakah bangsat itu? Katakanlah, Sir." "Sabar, sabar! Lebih dahulu saya hendak memberi bukti. Anda melihat bahwa saya mengikuti jejaknya. Segera Anda akan mengetahui ke mana jejak itu menuju." Bersama-sama dengan Old Shatterhand mereka mengikuti arah jejak itu. Akhirnya Old Shatterhand berhenti, mengarahkan cahaya lenteranya ke sana, lalu berkata: "Saksikanlah sendiri! Di sini berdiri tiga orang Indian yang menunggu kedatangan mata-mata yang menyebut dirinya Juwaruwa. Saksikanlah dengan saksama bahwa jejak ini asalnya dari kaki Indian!" Has berseru: "Itu tidak sukar, Sir. Dengan segera kita dapat melihat bahwa jejak-jejak itu asalnya dari kaki orang kulit merah. Aduh! Perkemahan kita ada dalam bahaya. Tunjukkanlah kepada kami pengkhianat itu, agar dapat ia kami gantung. Kebetulan sekali di sini banyak pohon yang dahannya dapat kami pergunakan untuk menggantung dia." "Tunggu sebentar lagi! Kita harus mengikuti terus jejak ini. Anda akan mengetahui dengan saksama bagaimana letak soal itu." Mestis itu tentu saja mendengar segala yang dipercakapkan. Sekali-kali Old Shatterhand mengarahkan cahaya lentera itu ke mukanya. Muka orang peranakan itu menunjukkan ketakutan. Mereka berjalan terus, akhirnya sampai ke belakang barak kantin, di mana Old Shatterhand berdiri lagi serta berkata: "Kemudian mereka pergi ke mari dan di sini tinggal beberapa lamanya. Rupa-rupanya mereka tidak merasa aman di sebelah depan, karena mereka tahu bahwa Winnetou dan saya ada di sini. Mereka khawatir kalau-kalau kami akan mengintai mereka. Di sini mereka berunding serta memasang siasat tentang cara bagaimana mereka akan menyerang kita. Kemudian ketiga orang kulit merah itu berjalan terus pergi ke tempat di mana mereka menunggu kedatangan Juwaruwa. Akan tetapi pengkhianat kita dari sini balik ke barak kantin. Saya tidak suka melihat darah mengalir, akan tetapi penjahat ini sudah selayaknya kita keroyok." "Siapakah itu siapa, siapa?" tanya orang-orang itu berganti-ganti. Hanya Mestis saja yang berdiam diri. "Itu akan segera Anda ketahui, kini kita akan mengikuti jejak itu beberapa jauh lagi sampai jejak itu sedemikian terangnya sehingga saya dapat membuktikan bahwa kaki pengkhianat itu sesuai benar dengan jejak ini. Marilah gentlemen!" Sedang ia mendahului teman-temannya, ia mengerlingkan matanya ke arah Mestis. Dengan perlahan-lahan Mestis itu mengikut di belakang, akan tetapi pada suatu ketika ia melompat ke sisi lalu menghilang. Kini tibalah saatnya! Orang peranakan itu tidak boleh mendapat kesempatan menyembunyikan diri di dekat perkemahan. Dengan demikian ia masih akan dapat mengintai gerak-gerik penghuni perkemahan. Karena itu Old Shatterhand berhenti lagi seraya berkata: "Inilah tempat di mana Anda dapat mengetahui siapa pengkhianat itu. Yato Inda saya persilakan tampil ke muka dan...!" Segera Old Shatterhand berseru lagi: "Ho, di mana Mestis itu?" "Mestis?" tanya orang-orang itu. "Diakah pengkhianat itu?" "Tentu saja. Saya kira Anda sudah dapat menerkanya. Namanya bukan Yato Inda, melainkan Ik Senanda. Ia cucu Mustang Hitam. Ketua suku Comanche itu hendak menyerang perkemahan kita. Ia menyuruh cucunya ke mari untuk menyelidiki keadaan di sini, agar ia mengetahui bilamanakah saat yang sebaiknya untuk menyerang." Sekonyong-konyong orang menjadi gempar. Para penghuni perkemahan yang mengikuti Old Shatterhand kini berteriak-teriak. Lain daripada itu kedengaran pula jerit orang yang melarikan diri. Akan tetapi Old Shatterhand berseru dengan suara yang lebih keras lagi: "Apa gunanya Anda membuat bising! Ia sudah lari ke wigwamnya untuk mengambil kudanya supaya dapat lari. Kejarlah dia agar tidak dapat meloloskan diri." "Ayo, ke wigwamnya!" seru mereka berganti-ganti. "Ya, ke wigwamnya! Dia harus kita tangkap!" Mereka berlari-lari ke arah wigwamnya orang peranakan itu. Old Shatterhand tinggal dengan insinyur. "Nah, bagaimana pendapat tuan?" tanya Old Shatterhand dengan tertawa. "Tidakkah berhasil siasat saya?" "Betul, itupun jikalau Anda tidak salah sangka terhadap peranakan Mestis itu. Saya masih belum lagi percaya bahwa ia orang jahat." "Jikalau tidak, masakan ia akan lari?" "Ya, itu benar juga. Kami harus mengucap syukur bahwa Anda sudah datang ke mari. Bagaimanakah nasib kami sekiranya Anda tidak ada di tengah-tengah kami. Tentu semua akan dirampas oleh orang-orang kulit merah, barangkali akan dihabiskan juga nyawa kami." "Nyawa dan scalp Anda, demikian juga bahan makanan yang ada di sini, kecuali uang. Uang akan menjadi bahagian Mestis. Perangai mereka saya kenal benar. Ho, dengarkanlah! Adakah Anda mendengar sesuatu, Sir?" "Ya, ada kuda berlari." "Ya, itu kuda Mestis. Ia lari ketakutan. Tentu ia tidak akan berani mencoba menyembunyikan diri di sini. Ia sudah menghilang." "Untuk berapa lama? Ia tentu akan pergi kepada orang-orang Comanche; sesudah itu akan balik kembali." "Ia akan kami kejar dan kami akan balik kembali sebelum dia. Anda tak usah khawatir. Dengarlah, anak buah Anda meraung-raung! Mereka masih juga mencari pengkhianat, akan tetapi tidak mendapatkannya. Ho, mereka membakar wigwam pandu Anda." Di atas semak belukar kelihatanlah nyala api, mula-mula kecil, akan tetapi makin lama makin besar. Betul para pekerja itu sudah membakar kediaman Mestis. Sekitar wigwam itu diterangi oleh nyala api. Kami melihat Winnetou datang. Dia berkata: "Winnetou mengintai dan mendengar Mestis itu datang lalu masuk ke dalam rumahnya. Kemudian kedengaran teriak para pekerja dan orang peranakan itu lari ketakutan ke arah kudanya. Segera ia naik lalu memacu kudanya." "Betul-betulkah ia melarikan diri, atau hanya hendak berkeliaran di dekat sini saja?" tanya Old Shatterhand. "Ia tidak akan berhenti sebelum ia yakin bahwa hari ini kami tidak akan dapat menyusulnya. Saya dengar betapa sesaknya napasnya. Tentu ia sudah ketakutan sekali dan karena itu ia tidak akan berani tinggal di dekat perkemahan ini." "Saya kira begitu. Kini kita dapat melanjutkan penyelidikan kita tanpa merasa khawatir bahwa ia akan kembali." "Penyelidikan apa?" "Kita harus menyelidiki kedua orang Tionghoa yang bertemu dengan orang-orang kulit merah tadi." "Teman-teman kita boleh menghadirinya?" "Hanya kedua Timpe saja. Makin banyak orang, makin besar kemungkinan akan menyulitkan penyelidikan kita." Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net V HUKUMAN YANG SETIMPAL Setelah para pekerja itu insaf bahwa usaha mereka untuk menangkap Mestis itu gagal, maka mereka kembali ke barak kantin. Mereka berharap akan mendapat keterangan lebih lanjut dari Old Shatterhand tentang pengkhianatan orang peranakan itu dan rencana orang-orang Comanche, Old Shatterhand mempersilakan mereka semuanya masuk. Di sana mereka harus menaruh sabar dahulu. Nanti ia akan memberi keterangan panjang-lebar. Kemudian Winnetou, insinyur, dua Timpe dan Old Shatterhand pergi ke sebelah belakang barak di mana Old Shatterhand tadi menjumpai jejak kedua orang Tionghoa itu. Jejak itu dapat ditemukannya kembali dengan mudah, lalu diikutinya. Mereka mengira bahwa jejak itu akhirnya akan menuju ke pintu barak, akan tetapi segera mereka melihat bahwa tiada demikian halnya. Jejak itu berjalan terus serta menuju ke bagian belakang rumah insinyur. Di sana mereka melihat sebuah tangga yang panjangnya sampai mencapai atap "Uf!" tanya ketua suku Apache itu kepada insinyur. "Tangga ini selalu ada di sini?" "Tidak," jawabnya. "Dan ketika kami bersama-sama dengan Anda ada di dalam rumah ini?" "Saya rasa tidak ada di sini juga. Siapakah yang membawa tangga ini ke mari?" "Kedua orang Tionghoa!" jawab Old Shatterhand. "Barangkali mereka sudah mencuri milik Anda, Sir, dan milik kami juga!" "Uf! Uf!" seru Winnetou. "Bedil kami sudah hilang." "Maaf, Mr. Winnetou; Anda sedang bermimpi?" seru insinyur itu. "Bedil kami sudah hilang," demikian ketua suku itu mengulang perkataannya. "Ya, itu keyakinan saya juga," kata Old Shatterhand dengan tenang. "Kalau Anda yakin, mengapa Anda tinggal tenang saja?" "Apa gunanya kami menjadi gugup atau menjadi marah? Makin tenang kami makin lekas dan makin pasti kami akan memperoleh kembali bedil-bedil kami." "Kalau benar begitu, maka pencuri itu akan saya paksa mengembalikan bedil Anda, kalau tidak, maka akan saya usir atau saya siksa sampai mati." "Mereka tidak dapat mengembalikannya." "Tidak? Mengapa tidak?" "Oleh karena bedil-bedil itu tidak ada pada mereka lagi." "Pada siapakah bedil-bedil itu sekarang?" "Pada orang-orang Comanche." "Jangan Anda berolok-olok! Bagaimana bedil-bedil itu dapat jatuh ke tangan orang-orang Comanche." "Mudah sekali. Jejak orang-orang Tionghoa itu bertemu dengan jejak orang-orang Comanche, kemudian balik kembali. Jadi orang-orang kulit merah itu telah merampas bedil-bedil itu dari tangan orang-orang Tionghoa." "Adakah mereka mencuri bedil itu justru untuk diberikan kepada orang Indian?" "Tidak! Mula-mula, ketika saya pertama-tama melihat jejak orang Tionghoa itu, saya mengira bahwa mereka mempunyai perhubungan rahasia dengan orang-orang Indian, akan tetapi kini saya yakin bahwa dugaan saya semula itu salah. Orang-orang Tionghoa itu mencuri bedil kami untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Demi mereka pergi untuk menyembunyikan hasil pencuriannya, maka mereka bertemu dengan orang-orang Indian, yang memaksa mereka menyerahkan bedil kami." "Itu mungkin akan tetapi itu belum merupakan kepastian. Saya masih belum percaya bahwa bedil Anda sudah hilang. Marilah masuk. Mudah-mudahan dugaan Anda salah." "Dugaan kami tidak salah. Adakah pekerja-pekerja Anda orang Tionghoa mempunyai bedil?" "Tidak." "Lihatlah tiga buah bekas di tanah ini. Bekas itu hanya dapat dibuat oleh tangkai bedil. Ketika pencuri-pencuri itu turun dari tangga, maka bedil itu disandarkan pada dinding, agar tangan mereka bebas untuk bergerak. Bekas ini ada tiga buah, yang sebuah besar, yang sebuah sedang dan yang sebuah lagi kecil. Itu berturut-turut adalah jejak pembunuh beruang, bedil perak dan bedil Henry. Kita tidak memerlukan bukti yang lain lagi." "Ah, itu benar!" seru insinyur. "Akan saya siksa kedua pencuri itu sampai mati! Tetapi orang-orang Tionghoa yang manakah mereka itu?" "Itu akan segera kita ketahui. Jejak mereka sudah tidak berguna lagi. Barangkali kita akan mendapat petunjuk di dalam. Dan sekiranya tidak begitu, maka seorang pemburu prairi masih mempunyai banyak akal lagi untuk mendapatkan seorang pencuri." "Mudah-mudahan, Sir. Sial benar saya ini. Mula-mula saya bergirang hati mendapat kehormatan didatangi dua orang pemburu prairi yang termasyhur. Kini ternyata bahwa mereka sudah kecurian, dan pencurinya adalah anak buah saya sendiri. Saya tidak mengerti untuk apa mereka mencuri bedil Anda. Akan diapakan bedil itu?" "Itupun akan kita ketahui juga nanti." Tiba-tiba Cas berseru: "Aha, kini teringat oleh saya sesuatu hal yang barangkali akan dapat menjadi petunjuk." "Apakah itu?" "Sebelum Anda berdua datang ke mari, kami ada mempercakapkan Anda. Tentu saja percakapan itu mengenai bedil Anda juga. Ada dikatakan betapa besar nilai bedil Anda, sehingga sebenarnya tak seorangpun dapat menaksir harganya. Mungkinkah salah seorang daripada orang kulit kuning itu mendengarnya dan karena itu kemudian timbul fikiran pada mereka untuk mencuri bedil-bedil itu, untuk menjualnya dengan harga yang mahal?" "Hm! Itu tidak mustahil, Mr. Timpe. Kedua bagian barak itu hanya terpisah oleh dinding papan yang tipis, sehingga percakapan Anda dengan mudah dapat didengar oleh orang-orang Tionghoa itu. Dan kalau saya tidak salah, maka di dekat dinding papan itu ada dua orang Tionghoa duduk di atas bangku." "Itu benar!" demikian insinyur menyela. "Itu ialah kedua orang mandor kami." "Seorang mandor biasanya orang yang dapat dipercayai, bukankah begitu?" tanya Old Shatterhand. "Tidak Sir! Bahwa kedua orang itu sudah menjadi mandor itu bukan bukti bahwa ia lebih jujur daripada yang lain. Barangkali kita dapat memulai dengan menanyai kedua orang itu." "Ya. Lebih dahulu kita harus masuk ke rumah Anda untuk menyaksikan adakah bedil itu benar-benar sudah hilang." Insinyur membuka pintu, lalu memasang lampu. Demi kamar itu diterangi oleh cahaya lampu, maka mereka melihat bahwa ketiga bedil itu sudah tidak ada lagi. Lain daripada itu mereka dapat melihat pula bagaimana pencurian itu dilakukan: di langit-langit kamar itu tampaklah sebuah lubang yang baru saja dibuat oleh para pencuri untuk masuk ke dalam kamar. Pembaca tentu dapat membayangkan betapa besar kehilangan senjata-senjata itu bagi Winnetou dan Old Shatterhand. Sungguhpun begitu kedua orang pemburu prairi itu tinggal tenang saja. Mereka tidak mengeluh, tidak meraung-raung, melainkan berdiam diri saja. Sebaliknya insinyur menjadi marah serta menyumpah-nyumpah dan memberi janji bahwa ia akan menyiksa kedua pencuri itu sampai mati. "Kita masih harus menyelidiki siapa pencurinya," kata Old Shatterhand. "Bahkan apabila pencuri-pencuri itu sudah jatuh ke tangan kita, maka saya tidak akan mau menyetujui hukuman yang bertentangan dengan perikemanusiaan." "Jadi mereka harus kita lepaskan begitu saja, Sir?" tanya insinyur itu. "Tidak, mereka akan kita adili, akan tetapi tidak secara bengis." "Jangan Anda lupa bahwa kita ada di daerah Barat! Di daerah Timur pencuri dimasukkan ke dalam penjara; tetapi di sini berlaku undang-undang prairi. Menurut undang-undang itu seorang pencuri kuda harus dihukum mati dan saya yakin bahwa senjata-senjata itu lebih besar nilainya daripada kuda. Bukankah begitu?" "Itu benar, akan tetapi walaupun begitu Anda saya mohon dengan hormat sudi kiranya menyerahkan penetapan hukuman itu kepada kami. Hukuman itu pasti berat, akan tetapi adil. Marilah kita pergi ke kantin, untuk menanyai kedua orang Tionghoa itu." Para pekerja masih ada semuanya. Bahkan yang mula sudah pergi tidur, kini bangun lagi untuk mendengarkan keterangan Old Shatterhand. Kedua mandor Tionghoa yang dimaksud oleh insinyur tadi, duduk di tempatnya semula. Rupa-rupanya mereka tidak merasa aman; setiap orang yang masuk diamat-amatinya. Old Shatterhand segera mempersilahkan mereka ikut masuk ke kamar kantin. Mereka bangkit lalu mengikut di belakang. Salah seorang dari mereka berbisik kepada yang lain: "Schuet put tek!" Telinga Old Shatterhand yang tajam menangkap kata-kata itu. Maka segera ia tersenyum. Orang Tionghoa itu mempergunakan bahasanya sendiri, yakni bahasa Tionghoa; lain daripada itu ia hanya berbisik; jadi ia yakin bahwa perkataannya itu tidak didengar orang dan sekiranya ada juga yang mendengar, maka tidak mungkinlah ia memahami arti kata-kata itu. Mustahillah bahwa di daerah Barat Amerika ini ada orang kulit putih yang mengerti bahasa Tionghoa. Sedikitpun dia tidak menduga bahwa Old Shatterhand dalam pengembaraannya di daerah Asia telah mengunjungi Tiongkok juga dan Old Shatterhand tidak pernah mengunjungi sesuatu negeri sebelum ia menguasai bahasa negeri itu. Kini semuanya sudah ada di dalam kamar kantin. Kedua orang Tionghoa itu berdiri berhadapan dengan Old Shatterhand. Pemburu prairi itu mencabut pistolnya, menarik picunya, lalu bertanya: "Anda ada di negeri asing. Tahukah Anda undang-undang negeri ini?" Salah seorang dari mereka menjawab dengan congkak: "Negeri ini banyak undang-undangnya. Undang-undang yang manakah yang Anda maksud, Sir?" "Undang-undang mengenai pencurian." "Itu kami ketahui." "Katakanlah bagaimana orang menghukum seorang pencuri." "Dengan hukuman penjara." "Ya, tetapi tidak di daerah ini. Barangsiapa di daerah Barat ini mencuri senjata atau kuda, ia dihukum tembak atau dihukum gantung. Tahukah Anda?" "Ya, kami pernah mendengarnya, akan tetapi itu bukan urusan kami, sebab kami tidak akan mencuri milik orang." "Anda berbohong!" "Apa maksud Anda, Sir? Saya tidak berbohong! Kami ada mendengar bahwa Anda adalah orang yang mulia lagi masyhur. Kami hanyalah orang biasa saja, mandor biasa, akan tetapi kami tidak akan membiarkan orang menghina kami." "Pshaw! Sebentar lagi akan lain sekali bicaramu! Jikalau kamu mau mengaku dengan jujur, maka dosamu akan kami ampuni, akan tetapi apabila kamu berdusta, janganlah hendaknya kamu mengharapkan ampun. Kamu telah mencuri bedil kami, tiga buah banyaknya?" Orang itu berbuat pura-pura tercengang, lalu menjawab: "Mencuri senjata? Kami? Dari mana timbul fikiran itu? Kami tidak dapat memahaminya! Adakah bedil Anda dicuri orang?" Perkataan itu diucapkannya dengan suara yang seolah-olah mengandung kejujuran dan kemurnian. Karena itu maka Old Shatterhand menjadi marah, lalu menampar kepalanya sehingga ia terpelanting menerjang bupet. Kemudian orang itu tidak diacuhkan lagi oleh Old Shatterhand, melainkan ia berpaling kepada orang Tionghoa yang kedua: "Kini engkau melihat bagaimana saya menjawab kebohongan. Jadi sebaiknya engkau berkata benar saja! Adakah engkau mencuri bedil kami?" "Tidak!" jawabnya. "Engkau memasuki rumah insinyur dengan mempergunakan tangga?" "Tidak!" "Dan ketika engkau hendak menyembunyikan bedil-bedil itu, maka bedil itu dirampas oleh orang Indian?" "Tidak!" demikian ia menyangkal untuk ketiga kalinya, akan tetapi suaranya sudah tidak mengandung kepastian lagi. "Dengarkanlah! Saya peringatkan engkau sekali lagi! Betul engkau sudah dipaksa oleh temanmu untuk berdusta, akan tetapi lebih baik bagimu untuk berkata benar." "Bilamana ia memaksa saya?" "Tadi, ketika kamu berdua bangkit dari tempat dudukmu." "Saya tidak tahu apa-apa, Sir." "Engkau tahu, sebab engkau mengerti apa yang dikatakannya dengan berbisik-bisik. Katanya: schuet put tek." "Ya, itu ada dikatakannya." "Apa arti kata-kata Tionghoa itu?" "Artinya: mari, ikutlah! Itu dikatakannya agar kami mengikuti Anda." "Engkau mengira bahwa engkau cerdik sekali, bukankah begitu? Engkau mengira dapat menipu saya. Mari dalam bahasa Tionghoa ialah lai' dan ikut ialah 'k'iu', akan tetapi 'Schuet put tek' berarti: 'engkau jangan mengaku'. Itu hendak kaupungkiri juga?" Orang Tionghoa yang berdiri di bupet itu masih juga meraba-rabai pipinya yang biru legam warnanya. Tetapi kini ia mengangkat kedua tangannya dengan ketakutan sekali. Orang Tionghoa yang lain mundur tiga langkah serta memandang pemburu prairi itu dengan mata yang terbuka lebar-lebar. Kemudian ia berseru: "Bagaimana? Anda... Anda... mengerti... bahasa Tionghoa?" Kegugupan kedua orang Tionghoa itu segera dipergunakan oleh Old Shatterhand untuk menggertak: "Siapakah orang Indian yang merampas bedil-bedil itu?" Tanpa berpikir lagi orang Tionghoa itu menjawab: "Ia menyebut dirinya Mustang Hitam. Ia ketua suku orang Comanche." "Put yen put jii, put yen jii," seru orang Tionghoa yang pertama dari tempatnya di dekat bupet. Kata-kata itu artinya kira-kira: "Jangan berkata apa-apa lagi, jangan sepatah katapun!" "Mien na, agai yu... astaga, celaka kita, celaka kita!" kata temannya yang kini melihat bahwa ia sudah berbuat kesalahan yang besar. "Diam," kata Old Shatterhand dengan tersenyum. "Kini Anda tahu bahwa tidak ada gunanya lagi engkau berbicara Tionghoa! Engkau akan kami gantung atau kami tembak mati malam ini juga, apabila engkau masih terus-menerus berbohong. Akan tetapi jikalau engkau mau mengatakan dengan saksama bagaimana seluk-beluk pencurian itu, maka engkau tidak akan kami bunuh." "Tidak akan dibunuh?" tanya orang Tionghoa yang kedua itu. "Hukuman apakah yang akan kami dapat?" "Itu sama sekali bergantung kepada kejujuranmu. Apabila engkau tidak menyembunyikan apa-apa, melainkan berkata benar saja, maka engkau akan kami perlakukan lebih baik daripada yang Anda harap-harapkan." "Kalau begitu segala-galanya akan saya ceriterakan." Ia mengerlingkan matanya ke arah temannya. Temannya itu menganggukkan kepalanya, sebab kini ia insaf bahwa sikapnya yang tadi hanya akan menimbulkan kesukaran saja. Maka kini ia maju dan berganti-ganti mereka menceriterakan bagaimana letak soalnya yang sebenarnya. Setelah semuanya mereka ceriterakan, maka orang Tionghoa yang pertama kali mengaku itu berkata kepada Old Shatterhand: "Ya, kini Anda sudah mengetahui segala-galanya, Sir. Maka kami yakin bahwa kami akan Anda bebaskan dari segala hukuman." Tetapi tiba-tiba insinyur berseru: "Bagaimana engkau dapat berfikir demikian, hai pencuri! Membebaskan kamu dari segala hukuman? Tidak terpikir olehku! Tahukah engkau apa artinya mencuri senjata pemburu prairi? Itu berarti bahwa engkau menyerahkan pemburu itu ke dalam pelukan maut! Dan engkau harus tahu betapa besar nilainya bedil-bedil itu! Kalau saya yang harus menghukum maka kamu berdua akan saya suruh siksa sampai mati, akan tetapi oleh karena itu tidak disetujui oleh Mr. Shatterhand dan oleh karena kamu sudah mengaku, maka saya mau mengampuni dosamu yang besar itu dan hanya akan menyuruh engkau memberi hukuman dera seratus kali." Mendengar ancaman itu maka mereka merintih-rintih minta ampun. Old Shatterhand bertanya kepada Winnetou: "Hukuman apa yang hendak Anda berikan kepada para pencuri ini?" Ketua suku Apache itu termenung beberapa saat, kemudian ia tersenyum. "Hukuman ini," jawabnya sambil membuat gerak mengiris scalp dengan kedua tangannya. Orang-orang kulit putih segera memahami maksudnya. Karena itu mereka bersikap menggerutu. Akan tetapi kedua orang Tionghoa itu tidak memahaminya; maka mereka memandang Old Shatterhand seakan-akan hendak bertanya. "Berlututlah di muka saya, bergantian," demikian perintahnya. Kedua orang itu mematuhi perintah. "Cabutlah pecimu!" Dengan kemalu-maluan mereka mencabut pecinya. Pada saat itu tampaklah sebuah pisau berkilat-kilat. Para pekerja segera bangkit dengan terkejut, sebab mereka mengira bahwa Winnetou benar-benar hendak mengambil scalp orang-orang Tionghoa itu. Dengan cepat sekali Winnetou mencekau rambut kedua pencuri dengan tangan kiri dan dengan dua kali memotong dengan tangan kanannya sudah terpotonglah kuncit mereka. Para penonton menarik napas panjang; lega hati mereka bahwa ketua suku Apache tidak memotong kulit kepala, tetapi kedua orang kulit kuning itu bukan main terkejutnya, sebab bagi orang Tionghoa adalah penghinaan yang sebesar-besarnya apabila kehilangan kuncit. Bahkan kadang-kadang lebih suka mereka mengurbankan nyawanya daripada kehilangan kuncit. Dengan segera mereka memasang pecinya kembali lalu melompat bangkit serta berlari sambil meraung-raung. Semua orang tertawa. Hanya Old Shatterhand dan Winnetou saja yang tidak tertawa. Old Shatterhand berkata: "Ya, Anda tertawa, akan tetapi bagi mereka hukuman itu bukan main beratnya, lebih berat daripada hukuman penjara beberapa tahun." "Betulkah begitu?" tanya insinyur. "Akan tetapi menurut ukuran kita hukuman itu sangat ringan. Mereka hanya kehilangan kuncitnya belaka." "Bukan hanya kuncitnya saja, melainkan kehormatannya juga, Sir," kata Old Shatterhand. "Pshaw! Kehormatan. Para pencuri itu sudah membuktikan bahwa mereka tidak mengenal rasa kehormatan. Orang tidak dapat kehilangan sesuatu yang tidak dimilikinya. Anda tidak menghukum mereka; akan tetapi mereka masih akan dapat hukuman juga dari saya." "Hukuman apa?" "Mereka saya usir. Saya tidak mau mempunyai pegawai yang sudah mencuri." "Anda tidak akan dapat mengusir mereka." "Tidak dapat? Mengapa tidak?" "Oleh karena mereka tidak akan mau tinggal di sini. Mereka tidak berani menampakkan dirinya kepada teman-temannya orang Tionghoa." "Kedua kuncit ini akan saya simpan sebagai kenang-kenangan." Ia sudah membungkukkan diri untuk memungutnya. Akan tetapi Old Shatterhand sudah mendahului dia seraya berkata: "Anda hendaknya jangan berkecil hati, Sir! Kuncit-kuncit ini adalah milik orang lain." "Milik siapa?" "Milik Tokvi Kava, ketua suku orang Comanche." "Mengapa milik dia?" "Untuk menghina serta memberi noda." "Saya tidak mengerti." "Itu mudah sekali. Ketika Winnetou memutuskan hukuman itu, ia ada mempunyai maksud yang tertentu. Bukankah Anda yakin bahwa Mustang Hitam akan menyerang perkemahan Anda?" "Ya." "Apakah yang sebenarnya menjadi sasarannya? Uang andakah?" "Saya kira bukan. Uang kami niscaya dikehendaki oleh Yato Inda. Orang-orang kulit merah tidak memerlukan uang. Mereka lebih menyukai senjata dan bekal kami." "Lain daripada itu mereka ingin sekali memiliki kuncit orang-orang Tionghoa." "Betulkah begitu?" "Betul. Barangsiapa mengenal perangai orang Indian, tentu mengetahui cara berpikir mereka dan mengetahui pula apa yang mereka sukai. Kegemaran mereka ialah mengumpulkan scalp sebanyak-banyaknya. Apalagi scalp yang sangat panjang! Scalp itu tidak akan diperolehnya, akan tetapi sebagai gantinya Tokvi Kava akan kami beri kuncit kedua orang pencuri tadi." "O, sekarang saya mulai mengerti. Mustang Hitam tentu akan menjadi jengkel sekali. Old Shatterhand cerdik sekali!" "Bukan saya yang mendapatkan akal." "Siapakah?" "Winnetou." "Winnetou? Ia tidak ada mengatakannya!" "Tetapi Anda ada melihat dia membuat gerak dengan tangannya." "Betul-betulkah ia mengenangkan Mustang Hitam ketika ia berbuat begitu?" "Pasti. Kami dapat mengetahui maksud kami tanpa mengeluarkan kata-kata. Betulkah begitu, saudara saya orang kulit merah?" Pertanyaan yang terakhir itu justru ditujukan kepada Winnetou. Winnetou menggulungkan serta membungkus kuncit itu, lalu menjawab: "Saudara saya Shatterhand memahami benar maksud saya. Hadiah berupa kuncit ini tanpa kulit kepalanya merupakan suatu penghinaan yang terbesar bagi ketua suku Comanche." "Boleh jadi," kata insinyur. "Akan tetapi menghina Tokvi Kava tidaklah semudah itu. Sebelum kita dapat membuat dia jengkel, lebih dahulu kita harus menangkis serangannya dan menangkap dia. Anda berbuat seakan-akan itu soal yang mudah sekali. Marilah kita duduk untuk merundingkan apa yang harus kita kerjakan, tuan-tuan." Ia mempersilakan pekerja-pekerjanya membawa mejanya ke tempat meja tadi, lalu diajaknya mereka duduk berdekat-dekatan. Winnetou dan Old Shatterhand duduk juga, akan tetapi sikap mereka tidak menunjukkan bahwa mereka memandang perundingan itu penting. Dengan sikap masa bodoh Cas berkata: "Nah, meja sudah siap. Kini kita boleh mulai main kartu." Insinyur itu merasa tersinggung oleh perkataan Cas, lalu menjawab: "Main kartu? Kita akan mengadakan perundingan yang penting sekali." "Kalau itu betul-betul maksud Anda, maka dengan segera saya dapat mengemukakan satu usul yang jitu." "Katakanlah usul Anda, Sir." "Dengan segala senang hati. Saya usulkan agar kita tidak mengadakan perundingan, melainkan menanyakan kepada Mr. Winnetou dan Mr. Shatterhand apa yang harus kita perbuat. Itu yang paling mudah dan paling baik bagi kita semuanya." "Akan tetapi banyak sekali soal yang harus kita rundingkan. Misalnya: bilamana kedatangan orang-orang Indian itu dapat diharapkan, berapa banyak jumlah orang kulit merah itu dengan jalan bagaimana kita harus memenangkan serangannya. Saya hanya dapat mengandalkan pekerja-pekerja saya orang kulit putih dan Anda melihat sendiri bahwa jumlah kami tidak banyak. Orang-orang Tionghoa tidak mempunyai bedil dan sekiranya mereka ada mempunyainya, mereka tidak akan dapat mempergunakannya. Sekiranya saya mempunyai pegawai orang kulit putih sebanyak rekan saya di Rocky Ground, maka sedikitpun saya tidak akan cemas menghadapi serangan orang-orang Comanche. Rekan saya tidak mempergunakan pekerja orang Tionghoa." "Rocky Ground?" tanya Old Shatterhand. "Sudah lamakah tempat itu bernama demikian?" "Tidak, itu nama yang kami berikan kepadanya." "Jauhkah tempat itu?" "Tidak, dengan kereta api hanya satu jam setengah perjalanan." "Hra! Daerah ini saya kenal baik, tetapi Winnetou lebih tahu lagi dan mengenalnya. Tetapi sejak Anda bekerja di sini, saya baru sekali ini menginjak daerah ini. Dapatkah Anda menyebutkan nama aslinya? Atau nama gunung, nama lembah atau nama sungai di dekatnya." "Rocky Ground terletak pada satu bukit yang tidak mempunyai nama Inggeris. Orang-orang kulit merah menyebutnya Ua-pesch. Apa arti kata itu tidaklah saya ketahui." "Uf! Ua-pesch!" seru Winnetou. Rupa-rupanya nama tempat itu sangat penting baginya. Semua orang memandang kepadanya, akan tetapi dengan gerak tangan ia menolak memberi keterangan; ia hanya berkata: "Saudara saya Shatterhand akan berbicara atas nama saya. Ia tahu juga apa yang saya maksud." Kini mata semua orang beralih kepada Old Shatterhand. Dengan terkejut Old Shatterhand berkata kepada insinyur: "Anda tidak tahu apa arti kata Ua-pesch? Artinya sama benar dengan nama yang Anda sebut tadi: Rocky Ground atau Lembah Batu. Anda tahu bahwa kami akan pergi ke Aider-Spring. Tahukah Anda di mana letak sumber itu?" "Tidak. Saya hanya tahu bahwa Anda akan sampai ke sana besok malam. Jadi jauhnya satu hari perjalanan." "Ya, karena kami harus berjalan melalui lembah dan bukit. Akan tetapi jalan kereta api Anda rupa-rupanya mengambil jalan yang memintas. Apabila kita berkuda dari Rocky Ground ke Alder-Spring maka dalam waktu kira-kira tiga jam saja sudah sampailah kita ke sana. Itulah yang sangat menggirangkan." "Mengapa menggirangkan?" "Oleh karena dengan mudah sekali kami dapat menguasai orang-orang Comanche." "Anda jangan marah, akan tetapi saya belum mengerti." "Katakanlah dahulu alat perhubungan apa yang Anda pergunakan untuk mengirimkan kabar ke Rocky Ground." "Kami mempunyai hubungan telegrap dengan mereka." "Dan bagaimana halnya dengan jalan kereta api? Sudah selesaikah jalan itu sampai ke Rocky Ground?" "Ya, sejak kira-kira dua minggu." "Gerbong apakah yang dipergunakan?" "Gerbong penumpang belum ada, hanya gerbong untuk pembawa alat-alat belaka." "Itu sudah cukup. Anda mempunyai gerbong semacam itu?" "Ada kira-kira selusin." "Anda mempunyai lokomotif juga?" "Tidak, menjelang malam lokomotif itu pulang kembali ke Rocky Ground." "Jadi sekarang ada di sana?" "Ya." "Anda tahu dengan pasti?" "Tentu saja." "Kalau begitu, sebelum kita melanjutkan perundingan kita, saya mohon Anda berkirim kawat ke Rocky Ground agar lokomotif itu dikirimkan ke mari." "Untuk apa kita memerlukan lokomotif?" demikian insinyur itu bertanya. Pada saat itu Winnetou berseru dengan suara yang tegas: "Mr. Insinyur hendaknya segera mengirimkan telegrap agar lokomotif itu dibawa ke mari. Saya berharap jangan hendaknya ia bertanya-tanya lagi. Saudara saya Shatterhand tahu benar apa yang dikehendakinya." Insinyur itu tidak menyangkal. Ia segera pergi dan beberapa menit kemudian ia sudah balik kembali, lalu berkata: "Telegram sudah saya kirimkan. Dengan demikian saya memikul tanggungjawab yang berat. Tetapi saya percaya bahwa perbuatan saya itu mempunyai alasan yang kuat." "Anda tak usah khawatir, Sir. Anda tidak akan dikecam orang," demikian Old Shatterhand membujuk insinyur yang rupa-rupanya merasa sangsi. "Sesungguhnya Anda dapat juga mengatakan kepada saya untuk apa lokomotif itu harus didatangkan ke mari." "Tadi saya tidak mau membuang-buang waktu, sebab saya tahu bahwa lokomotif itu harus dipanaskan dahulu sebelum dapat berangkat." "Itu betul. Rocky Ground sudah menjawab bahwa mereka akan segera memanaskan lokomotif itu. Siapakah yang akan ikut?" "Winnetou, saya dan dua bersaudara Timpe itu, semuanya dengan kudanya masing-masing." "Dan dari pihak kami?" "Tidak seorang." "Mr. Shatterhand! Itu tidak dapat saya pertanggungjawabkan. Gerbong dan lokomotif kami tak boleh dipergunakan untuk maksud prive." "Ini bukan soal prive, melainkan soal menolong Anda dari bahaya orang-orang Comanche. Biarlah saya ceriterakan lebih jelas lagi. Kami mengetahui rencana musuh. Mustang Hitam hendak menyerang perkemahan ini, maka ia menyuruh cucunya datang ke mari dengan memakai nama samaran. Maksudnya ialah agar orang Mestis itu menyelidiki daerah yang akan diserang itu. Malam ini mereka sudah berunding. Sekiranya kami tidak ada di sini, maka serangan itu tidak akan lekas-lekas dilakukan dan orang Mestis itu tidak akan terbuka kedoknya. Dengan demikian maka orang-orang kulit merah itu dapat melaksanakan rencana mereka dengan mudah. Akan tetapi oleh karena mereka kini tahu bahwa rencana mereka sudah kami ketahui, maka mereka akan melaksanakannya sebelum Anda mendapat kesempatan memperkuat benteng Anda. Saya yakin bahwa mereka malam ini juga akan menyerang Anda sekiranya mereka tidak mempunyai alangan yang penting sekali." "Alangan apa?" demikian insinyur itu menyela. "Saya berpendapat bahwa justru pada malam ini tidak ada alangan sama sekali bagi mereka." "Apa maksud Anda?" "Apabila orang-orang kulit merah itu datang malam ini juga, maka celakalah kita." "Akan tetapi mereka malam ini tidak akan datang ke mari, sebab mereka tidak ada di daerah ini. Yang datang ke mari tadi hanyalah empat orang prajurit saja. Pasukannya menunggu dari jarak jauh. Lagipula mereka tahu bahwa kami ada di sini. Orang Mestis sedang menyusul neneknya untuk melaporkan apa yang sudah terjadi. Karena itu maka ketua suku Comanche yakin benar bahwa Winnetou dan saya besok akan pergi ke Aider-Spring. Bagi mereka adalah lebih penting menangkap kami daripada menaklukkan Anda. Maka dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa ia bergegas-gegas pergi ke Aider-Spring untuk menangkap kami di sana. Ia menyangka bahwa pekerjaan itu mudah sekali, apalagi oleh karena kami tidak mempunyai lagi bedil-bedil kami yang sangat ditakutinya. Apabila kami sudah tertangkap, maka dengan mudah sekali mereka dapat menyerang dan menaklukkan Anda. Ia tidak berani menunda pelaksanaan rencananya oleh karena dalam pada itu Anda akan sempat memperkuat benteng pertahanan Anda. Soalnya ialah bahwa kami harus mendahului Mustang Hitam di Aider-Spring. Mereka harus kami intai, jumlah prajuritnya kami hitung, percakapannya kami dengarkan untuk mengetahui dengan cara bagaimana ia hendak menangkap kami dan hendak menyerang Anda." Insinyur segera menyela: "Pshaw! Itu berbahaya sekali! Apabila Anda diserangnya, maka celakalah Anda!" "Ia tidak akan menyerang kami; jangan Anda khawatir. Seorang pemburu prairi hanya dapat diserang dengan tiba-tiba oleh bahaya yang tidak diketahuinya, tidak oleh bahaya yang ada diketahuinya. Untung sekali Rocky Ground dekat sekali letaknya pada Aider-Spring. Jikalau kami berjalan dengan kereta api dan setiba di Rocky Ground kami segera berangkat ke Aider-Spring, maka pagi-pagi sudah dapatlah kami sampai ke sana. Di sana kami dapat mengambil segala persiapan yang kami perlukan. Kami dapat mengintai orang-orang Comanche tanpa dapat dilihat mereka. Apa yang akan terjadi, sama sekali bergantung kepada apa yang akan kami ketahui." "Di sana Anda akan memperoleh kembali bedil Anda?" "Barangkali tidak." "Akan tetapi pada hemat saya pertama-tama Anda harus berusaha memperoleh senjata Anda kembali!" "Soal yang paling utama ialah menolong Anda. Apabila itu berhasil, maka Mustang Hitam kami tahan. Jikalau kami sudah menguasai Mustang Hitam maka dengan mudah sekali kami akan mendapatkan kembali senjata kami. Saya yakin benar bahwa kami akan dapat mendengarkan percakapan mereka. Demi kami mendengar bahwa Anda dalam bahaya, maka kami akan bergegas-gegas kembali ke Rocky Ground untuk membawa sekalian pekerja yang ada di sana ke mari agar bersama-sama kita dapat menyambut serangan orang-orang Comanche." Mendengar kata-kata saya yang terakhir itu insinyur segera bangkit dari tempat duduknya, lalu berseru kegirangan: "AU devils! Itu baik sekali. Apabila orang-orang kulit putih dari Rocky Ground menggabungkan diri dengan kami, maka kami niscaya akan menang. Prajurit orang kulit merah itu akan kita tembak sampai habis." "Jadi Anda menyetujui rencana saya?" "Setuju, setuju sekali! Ya, kini saya insaf bahwa hanya Anda dan Mr. Winnetou saja yang dapat menyelamatkan kami." "Karena itu janganlah berat hati Anda bahwa Anda sudah mendatangkan lokomotif untuk kami." "Tidak, tidak lagi, Sir! Sebaliknya, saya mengucapkan terima kasih dan saya akan mengusahakan agar Anda akan disambut dengan ramah-tamah sekali di Rocky Ground." "Apa maksud Anda?" "Segera setelah Anda berangkat, saya akan mengirimkan kawat bahwa Old Shatterhand dan Winnetou, dua orang pemburu prairi yang masyhur akan datang ke Rocky Ground." "Jangan Anda berbuat begitu." " Mengapa jangan?" "Pertama: oleh karena kami tidak lebih daripada pemburu-pemburu prairi yang lain. Kedua: karena dengan demikian Anda dapat membahayakan pelaksanaan rencana kami." "Dengan jalan bagaimana?" "Mungkin sekali maksud kami akan disampaikan kepada orang-orang Comanche." "Itu tidak mungkin." "Bahkan mungkin sekali." "Siapakah yang akan mau menyampaikan pesan itu kepada orang-orang kulit merah." "Anda sudah lupa akan orang Mestis yang Anda percayai benar-benar itu? Kita harus bersikap hati-hati sekali, lebih-lebih oleh karena usaha kita ini ada sangkut-pautnya dengan nasib manusia." "Baik. Akan tetapi saya akan mengirimkan kawat juga. Saya hanya hendak memberitahukan bahwa kereta api itu akan membawa empat orang penumpang. Itu adalah kewajiban saya. Akan tetapi saya akan mendapat kesulitan besar sekiranya dugaan Anda tentang malam ini salah." "Apa maksud Anda?" "Yang saya maksud ialah: jikalau orang-orang Comanche datang malam ini sedang Anda sudah tidak ada." "Mereka tidak akan datang. Percayalah!" "Ya, itu hanya dugaan Anda, Sir! Saya mau mengakui bahwa dalam hal-hal itu Anda seribu kali lebih tahu daripada saya, akan tetapi Anda sudah mengatakan sendiri bahwa di daerah ini orang harus bersikap hati-hati sekali." "Sayapun tidak akan menghalang-halangi Anda melakukan apa yang Anda pandang sebagai kewajiban Anda." "Akan tetapi apakah sesungguhnya kewajiban saya?" "Anda hendaknya menyalakan api pada beberapa tempat sekeliling perkemahan ini serta memasang penjagaan di sana. Sekiranya ada orang Comanche di dekat ini, maka mereka tidak akan berani mendekat. Tetapi saya yakin bahwa di daerah ini tidak ada orang Comanche." "Ya, nasihat Anda itu baik sekali. Segala yang Anda katakan akan saya kerjakan semuanya." Ia meninggalkan kami untuk memberi perintah seperlunya. Tidak lama kemudian kami melihat bahwa penghuni perkemahan itu sudah memasang enam buah api besar yang menerangi seluruh perkemahan. Ia memasang penjagaan di muka rumahnya. Penjaga itu harus segera memberitahukan apabila ada berita telegram masuk. Semuanya merasakan suasana tegang. Tidak seorangpun pergi tidur. Kami segera membuat persiapan untuk perjalanan kami. Untuk kami bertempat beserta kuda kami disediakan sebuah gerbong bagasi yang cukup luasnya. Demi kami mendapat berita bahwa lokomotif sudah berangkat dari Rocky Ground, maka kuda kami segera kami masukkan ke dalam gerbong. Kami pergi minum sebentar sebelum kami minta diri. VI KE ROCKY GROUND Satu setengah jam sesudah kami mendapat berita telegram dari Rocky Ground, maka kami mendengar peluit lokomotif yang datang. Kereta kami segera disambungkan. Para penumpang segera minta diri lalu naik. Kemudian insinyur mengirimkan berita bahwa kereta api membawa empat orang penumpang ke Rocky Ground. Walaupun jalan kereta api itu masih baru dan hari agak gelap, namun kereta api yang tidak panjang itu berjalan dengan cepatnya. Sekeliling kami gelap gulita. Kami tidak dapat membeda-bedakan bukit, lembah, prairi dan hutan. Kami mendapat kesan seakan-akan kereta api itu bergerak di dalam sebuah tembusan yang gelap dan tidak berhingga. Karena itu maka kami berempat sangat bergirang hati ketika lokomotif memperdengarkan peluitnya dan kami melihat di muka kami beberapa lampu yang menunjukkan bahwa kami hampir sampai ke tujuan kami. Kami sudah sampai ke Rocky Ground. Di situpun orang memasang beberapa buah api unggun dan dalam cahaya api itu kami melihat sebuah gedung yang mempunyai pintu gerbang yang sangat lebar. Rupa-rupanya gedung itu mempunyai beberapa buah kamar, akan tetapi yang diterangi lampu hanyalah sebuah saja. Dekat pada pintu gerbang kami melihat seseorang bersandar, yang menilik pakaiannya, adalah seorang pemburu prairi. Di dekat jalan kereta api berdiri seorang lagi yang demi kereta api kami berhenti, membuka pintu gerbong kami seraya berseru: "Rocky Ground! Turunlah gentlemen! Saya ingin sekali mengetahui untuk siapa rekan saya di Firewood menyuruh saya mengirimkan kereta istimewa pada malam hari." "Itu akan segera Anda lihat, Sir," jawab Old Shatterhand. "Anda pegawai kereta api?" "Saya insinyur, siapakah Anda?" "Anda akan segera mendengar nama kami apabila kami sudah ada di dalam. Anda mempunyai tempat yang baik untuk menyimpan kuda kami?" "Itu soal mudah, turunlah dahulu." Ia mengamat-amati kami berempat, lalu menggerutu dengan rasa kecewa: "Hm! Semuanya asing bagi saya. Bahkan ada juga seorang kulit merah. Lain benar daripada apa yang saya duga!" "Barangkali Anda menduga bahwa kami atasan Anda?" kata Old Shatterhand dengan tertawa. "Pemegang saham atau pembesar lainnya? Anda hendaknya jangan berkecil hati, bahwa kami adalah orang biasa yang mengganggu Anda pada malam hari. Kami akan segera berangkat lagi, jadi Anda akan segera dapat pergi tidur lagi." "Berangkat lagi? Jikalau begitu Anda tak lain daripada pemburu?" "Betul." "Dan untuk pemburu rekan saya sudah membangunkan saya dari tidur..." Pada saat itu ia disela oleh orang kurus yang bersandar di dekat pintu gerbang tadi dan kini mendekati kami. Ia berkata: "Sayapun ingin mengetahui macam orang apa yang pada malam hari datang ke mari dengan kereta api ekstra. Apabila orang dengan jalan demikian..." Dengan tiba-tiba ia berhenti berbicara. Old Shatterhand yang mula-mula membelakangkan dia, kini sekonyong-konyong berpaling oleh karena ia mendengar suara yang dikenalnya. Dengan demikian maka orang yang kurus badannya itu dapat melihat mukanya dan dengan segera ia memutuskan perkataannya, akan tetapi sebentar kemudian ia berteriak: "Old Shatterhand! Old Shatterhand!" "Hobble Frank, Hobble Frank*," seru Old Shatterhand dengan heran. (*Bacalah kisah pengembaraan Dr. Karl May: Rahasia Bison Putih, Pemburu binatang berbulu tebal di Rio Pecos, Raja Minyak dan Gunung Setan di Rocky Mountains) "Dan Winnetou! Winnetou!" seru Frank lagi, ketika ia melihat ketua suku Apache. "Uf!" jawab Winnetou. Ia hanya mengucapkan sepatah kata itu saja, akan tetapi dalam lagu suaranya telah terkandung rasa tercengang oleh pertemuan yang tidak tersangka-sangka itu. "Ya, betul, Old Shatterhand dan Winnetou," demikian orang kurus itu mengulang kata-kata yang mengandung kegirangan itu. "Ke marilah, biar Anda berdua saya peluk!" Maka dipeluknya kedua orang itu berturut-turut seraya ia berseru kepada insinyur: "Mr. Insinyur, inilah kedua orang pemburu prairi yang kenamaan, yang setiap malam saya sebut namanya dalam ceritera saya, sedikitpun saya tidak menduga bahwa saya akan selekas ini bertemu dengan mereka." Kini insinyur segera mengubah sikapnya. Dengan hormat ia menjawab: "Keterangan yang Anda berikan itu sama sekali tidak perlu Mr. Frank. Kedua orang gentlemen ini sudah lama saya kenal, walaupun hanya karena masyhurnya saja. Sekiranya saya mengetahui bahwa merekalah yang dibawa ke mari oleh kereta api, maka mereka niscaya akan saya sambut dengan cara yang lain benar. Kini anak buah saya akan saya bangunkan semuanya dan..." "Sebentar," demikian Old Shatterhand menyela. "Kami tidak boleh dikenali orang. Sebabnya akan segera saya katakan. Kami tidak akan lama tinggal di sini, akan tetapi oleh karena dengan tiba-tiba bertemu dengan sahabat kami Frank, maka kami akan berhenti kira-kira satu jam lamanya sebelum kami berjalan terus. Jadi katakanlah adakah Anda mempunyai tempat di mana kuda kami dapat disimpan dengan aman?" "O, Mr. Shatterhand, kuda Anda akan kami pelihara seakan-akan mereka manusia, sebab saya tahu betapa indahnya tunggangan Anda dan tunggangan Mr. Winnetou. Kuda Anda akan kami bawa masuk ke bangsal, di mana Anda akan kami sambut sebagai tamu yang paling terhormat." Yang disebutnya bangsal itu ialah gedung panjang yang sudah kami sebut tadi. Kamar yang diterangi oleh lampu itu ialah kamar restorasi bagi para penghuni Rocky Ground. Di sebelah kamar itu ada ruang tempat menyimpan barang. Ruang itu sedang kosong dan di sanalah kuda kami diberi tempat. Di sana tunggangan kami dapat kami amat-amati dari kamar restorasi, jadi kuda kami itu aman sekali. Kemudian kami masuk ke kamar restorasi dan penjaga kantin sudah bangun oleh kegemparan yang ditimbulkan oleh Hobble-Frank. Memang ia tidak pergi tidur, melainkan menunggu di kantin kalau-kalau mereka yang akan datang dengan kereta api itu akan memerlukan minum dan makan. Akan tetapi oleh karena hari sudah jauh malam maka ia tertidur juga di atas kursinya. Penjaga kantin itu mengira bahwa penumpang kereta api itu niscaya inspektur atau tamu agung lainnya. Demi ia melihat bahwa kami hanyalah pemburu prairi belaka, maka tampaklah bahwa ia merasa kecewa. Akan tetapi segera berubah sikapnya, demi insinyur membisikkan nama kami ke telinganya serta memesan minuman dan makanan yang mahal. Sebelum mereka duduk Old Shatterhand memperkenalkan Cas dan Has kepada pihak tuan rumah. Kepada Hobble-Frank ia berkata: "Sahabat saya Frank, dengan segala senang hati saya hendak memperkenalkan kepada Anda..." "Sebentar, sebentar!" demikian orang kurus itu menyela. "Anda mengenal saya, bukankah begitu Mr. Shatterhand yang saya muliakan?" "Tentu saja," jawab Old Shatterhand dengan tertawa; ia tahu bahwa Frank akan mempertunjukkan sikap lucu yang niscaya sudah dikenal juga oleh pembaca. Selama orang kecil ini mempergunakan bahasa Inggeris, tidaklah dapat diketahui apa sifat-sifat istimewanya, akan tetapi serta ia mulai berbahasa Jerman, maka segeralah kelihatan bahwa ia mempunyai sifat-sifat yang ganjil. "Anda, Mr. Shatterhand mengenal Hobble-Frank Anda. Jadi Anda tahu benar bahwa saya adalah seseorang yang insaf benar akan hak-hak kerohanian yang abnormal dan bahwa saya tidak pernah membuang-buang kehormatan saya. Hormatilah barangsiapa patut mendapat kehormatan! Saya selalu menuntut kehormatan itu; karena itu saya menuntut agar saya disebut dan dipanggil dengan gelar saya yang sejati oleh majelis yang saya hadapi. Oleh sebab itu maka saya hanya mau disapa orang dengan kata Jerman 'sie' atau kata Perancis 'vous'. Akan tetapi apabila kata-kata itu ke luar dari mulut Anda, maka hati saya merasa sakit. Saya sudah menyertai Anda dalam segala pengembaraan Anda, sudah menghadapi bahaya, mengalami lapar dan haus bersama-sama dengan Anda, sehingga sudah sepatutnya saya Anda pandang sebagai anak kandung rohani Anda. Tidak selayaknya Anda memanggil saya dengan 'sie' atau 'vous', melainkan Anda hendaknya memanggil saya dengan engkau atau kamu. Maukah Anda berbuat demikian?" Old Shatterhand hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan pertanyaan itu hanya dijawabnya dengan "hm" saja. "Hm?" seru orang kecil itu. "Di sini orang tidak menjawab dengan deham. Permintaan saya itu ke luar dari hati sanubari saya dan saya insaf bahwa tiadalah sukar bagi Anda untuk memenuhi permintaan itu. Mengapa Anda tidak mau menyenangkan hati saya?" "Jadi Anda menghendaki persahabatan dengan kami, Frank sahabatku?" "Persahabatan? Bukan itu yang saya ingini. Persahabatan hanya diikat oleh orang yang tidak dapat menjunjung dirinya lebih tinggi dan yang sudah kehilangan rendez-vous orthopedi. Saya tidak mau berbuat begitu sebab saya tahu apa yang harus saya lakukan terhadap territor intelektuil. Jadi kalau kita hanya bersahabat saja, maka saya harus menyebut Anda dengan engkau atau kamu. Saya tidak mau mengadakan hubungan yang demikian. Kini kita berdiri antara dua buah kursi. Pilihlah kursi yang paling Anda sukai. Apabila Anda menyebut saya dengan Anda, maka saya akan menyebut Anda dengan engkau. Tetapi apabila Anda tahu kewajiban Anda dan menyebut saya dengan engkau, maka sudah sepatutnya saya menyebut Anda dengan 'sie', 'vous' atau Anda. Itu hukum alam yang berlaku bagi saya. Putuskanlah sekarang juga! Bagaimana hubungan kita untuk selanjutnya?" "Ya, permintaanmu akan saya kabulkan." "Ha, senang hati saya. Anda menyebut saya dengan kata engkau?" "Ya, sebab saya tahu bahwa engkau bersungguh-sungguh." "Bagus, bagus sekali. Jadi kita sudah seragam dan sejiwa. Kini Anda boleh menyampaikan kabar yang hendak Anda sampaikan kepada saya tadi." "Ya, saya hendak memperkenalkan kepadamu dua orang setanah-air." "Sungguh? Jadi orang Jerman?" "Bukan orang Jerman saja, bahkan orang Saksen!" "Astaga! Orang Saksen. Dari tempat mana?" "Ini tuan Hasael Benyamin Timpe, dari Plauen." "Plauen di Voigtland?" "Ya." "Itu kabar yang menggirangkan sekali. Saya kenal Plauen; di sana saya sering mengunjungi kedai minum Anders, yang menyajikan bir yang paling enak. Di sana mereka menyajikan makanan yang lezat-lezat juga. Dan tuan yang lain ini?" "Tuan Casimir Obadja Timpe, saudara sepupu tuan yang baru saya perkenalkan tadi. Ia berasal dari Hof." "Dari Hof? Hm! Hof letaknya tidak di Saksen, melainkan di Beieren. Anda sudah menjadi korban kekacauan ornithologi. Tetapi itu tidak apa sebab kereta api yang menghubungkan Plauen dengan Hof adalah kereta api Saksen. Jadi tuan Casimir Obadja masih dapat saya pandang sebangsa. Siapakah dari mereka berdua itu yang sesungguhnya saudara sepupu?" "Keduanya, itu sudah jelas, sahabatku Frank." "Keduanya? Hm, ya! Ya, ya. Betul begitu. Saya agak bingung, sebab nama Timpe itu sudah merangsang tenggorokan saya. Mudah-mudahan jangan terlampau banyak orang yang bernama Timpe!" Kedua orang saudara sepupu itu sudah pernah mendengar nama Hobble-Frank, akan tetapi mereka tidak menduga bahwa perangainya seganjil yang mereka saksikan sekarang. Akan tetapi mereka segera menaruh simpati; Cas lekas-lekas menjawab: "O, jangan Anda khawatir. Orang yang bernama Timpe banyak sekali, misalnya: Rehabeam Zacharias Timpe, Petrus Micha Timpe, Markus Absalom Timpe, David Makkabeus Timpe, Tobias Holofernes Timpe, Nahum Samuel Timpe, Jozef Habakuk Timpe..." "Sudah, sudah cukup!" seru Hobble-Frank sambil menutup telinganya, "kalau Anda teruskan juga, terpaksa saya nanti menceburkan diri ke dalam sungai! Untuk mendengarkan cacah jiwa seperti itu orang harus mempunyai urat saraf setebal kawat telepon! Timpe! Timpe! Timpe! Selalu Timpe saja! Dan nama kecil mereka! Seakan-akan saya mendengarkan orang membaca kitab suci saja. Saya hendak memberi nasihat yang baik kepada Anda. Kirimkanlah surat kepada kementerian di Saksen agar Anda memperoleh nama lain. Kalau tidak, mustahil saya dapat bergaul terus dengan Anda." "O, kalau itu yang jadi keberatan Anda, maka kami sendiri mempunyai akal yang jauh lebih baik. Teman-teman kami boleh memanggil kami dengan singkatan nama kecil kami: jadi Cas dan Has, bukan Casimir dan Hasael. Maukah Anda menyebut kami begitu?" "Ya, itu lebih baik. Mau benar saya menjadi sahabat Anda. Marilah kita duduk. Tetapi... apakah itu?" Pertanyaan itu bersangkutan dengan sejumlah piring dan gelas yang berisi penuh, yang diantarkan oleh penjaga kantin. Insinyur segera menerangkan bahwa ia akan menganggapnya sebagai kehormatan yang besar apabila ia boleh menjamu tuan-tuan yang baru datang itu. Menurut adat kebiasaan orang Amerika, jamuan serupa itu tidak boleh ditolak. Hobble-Frank dan kedua Timpe makan dengan lahapnya. Old Shatterhand hanya makan sedikit serta minum segelas anggur. Winnetou sama sekali tidak minum. Ia sudah pernah mencicip alkohol, akan tetapi sesudah itu tidak pernah diulangnya. Ia tahu benar bahwa "air api" adalah musuh yang terbesar bagi orang kulit merah. Sambil makan mereka bercakap-cakap dengan asyiknya. Old Shatterhand ingin sekali mengetahui asal mulanya maka ia bertemu dengan Frank di Rocky Ground. Hobble-Frank menjawab: "Sebabnya ialah karena saya mempunyai perangai burung negeri Jerman. Apabila musim dingin datang dan iklim tidak menyenangkan lagi baginya, maka ia menjadi gelisah, lalu terbang ke arah Selatan. Akan tetapi di sanapun tidak lama tenteram hatinya. Beberapa bulan kemudian burung itu terbang kembali ke negeri asalnya. Demikian pula halnya dengan saya, ingin bertemu dengan Anda. Karena itu saya naik ke kapal yang pergi ke Jerman. Tetapi di sana saya mendengar bahwa Anda telah balik kembali ke benua Amerika untuk menjumpai Winnetou; maka saya tertimpa oleh demam-savanna; rindu kembali saya kepada petualangan kita bersama. Segera saya membulatkan hati saya untuk menyusul Anda. Saya tahu bahwa pada suku Apache Mescalero saya akan mendapat keterangan, di mana saya dapat menjumpai Anda. Maka kami naik kapal yang berlayar ke hulu sungai Arkansas; dari sana kami berkuda ke Rio Pecos melalui Santa Fe." "Kami? Jadi Anda tidak seorang diri saja?" "Tidak, saudara sepupu saya Droll menemani saya." "Ah, Bibi Droll? Di mana dia?" "Di mana lagi kalau tidak di tempat tidurnya!" "Di sini?" "Ya, di sini." "Frank, mengapa ia tidak kau bangunkan?" "Ia harus beristirahat; ia sedang sakit." "Sakit? Kalau begitu saya harus segera menengok dia! Berbahayakah penyakitnya?" "Tidak, akan tetapi ia menderita dengan hebatnya." "Apa penyakitnya?" "Penyakit yang sangat ganjil, penyakit yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Mula-mula saya tak mau percaya. Kakinya kemasukan pulau Ischia." "Pulau... Ischia?" tanya Old Shatterhand. Old Shatterhand hendak tertawa, akan tetapi untung dia dapat menguasai dirinya, sebab ia yakin bahwa Hobble-Frank akan marah apabila ditertawakan. "Ya, pulau Ischia," jawab Frank dengan sungguh-sungguh. "Di manakah letak pulau itu?" "Di antara katulistiwa dan Sigmaringen di Hohenzollern." "Haha," sela Cas yang tidak insaf bahwa dengan demikian ia melukai perasaan Hobble-Frank. "Saya bukan ahli ilmu bumi, akan tetapi secara kebetulan sekali saya tahu dengan tepat di mana letak pulau itu. Saya pernah membaca bahwa pulau itu acapkali diserang oleh gempa bumi yang hebat; karena itu maka sangat menarik perhatian saya." O, celaka! Cas yang baik hati itu sedikitpun tidak menduga, bahwa ia sendiripun dapat mengharapkan gempa bumi yang tidak kurang hebat. Frank meletakkan sendok dan garpunya, dengan perlahan-lahan berpaling kepadanya, lalu memandangi Cas dari kepala sampai kakinya seraya bertanya dengan suara yang mengandung ejekan: "Ah, Anda benar-benar mengetahuinya dengan tepat? Katakanlah, siapa nama Anda?" "Timpe." "Tim... Tim... Timpe! Ya, kalau demikian nama Anda, pantaslah! Timpe dan Ischia! Bunyi kedua kata itu sama ganjilnya dengan bunyi sikat sepatu dan ophelia. Nah di manakah pada pendapat Anda letak pulau Ischia itu?" "Di teluk Napoli." "Ahaaa!" Kata "haaa" itu direntangkannya panjang-panjang. Dengan mata yang berkilat-kilat ia menyambung: "Tiadakah itu terletak antara katulistiwa dan Sigmaringen di Hohenzollern?" "Hm! Itu saya tidak tahu. Saya tidak pernah menaruh minat terhadap katulistiwa." "Kalau begitu diamlah dan apabila selanjutnya seorang otoritet simbolis ilmiah berkenan mencoba menerangkan akal Anda yang gelap, janganlah Anda berani menyela atau menyangkal! Anda sudah mengakui bahwa Anda bukan ahli ilmu bumi. Kini ternyata bahwa Anda sama sekali tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu bumi. Apabila Luna tertawa, maka tengers hendaknya menutup mulutnya. Camkanlah itu!" Cas sama sekali tidak menginsafi bahwa kata-kata Hobble-Frank itu tak lain daripada cakap angin yang tidak ada artinya. Karena itu ia menjawab dengan rendah hati: "Tuan Frank, sedikitpun saya tidak mempunyai maksud untuk menghina Anda, akan tetapi saya kira Anda harus mengakui bahwa tiadalah mungkin orang mengandung sebuah pulau dengan dua puluh lima penduduk di dalam kakinya!" "Tutup mulut Anda! Siapa yang berbicara tentang penduduk? Karena Droll menderita dengan hebat sekali, maka hanya dengan susah-payah kami dapat sampai ke Fort Manners, di mana secara kebetulan saja ada dua orang dokter yang mau memeriksa penyakitnya. Dokter yang seorang rupa-rupanya bukan seorang ahli; katanya penyakit Droll itu ialah Pain in the hip*. (*Semacam penyakit encok di pinggang Ischia) Dokter yang seorang lagi jauh lebih pandai; ia mendapatkan penyakit Droll; penyakit itu disebutnya Ischia. Bahwa Ischia itu ialah nama sebuah pulau, itu setiap orang tahu. Dan apa yang hendak Anda katakan tentang gempa bumi tadi, ternyata tepat sekali, sebab penyakit Droll menampakkan diri sebagai gempa bumi. Apabila ia sedang diserang penyakit maka seluruh tubuhnya gemetar." Cas berdiam diri saja; ia tidak dapat menjawab. Old Shatterhand mengikuti pertengkaran mulut itu dengan segala minat. Untuk menjaga jangan hendaknya pertengkaran itu berlarut-larut, maka kini ia mengalihkan perhatian Frank kepada soal yang lain dengan berkata: "Sepanjang ingatan saya Droll tidak pernah menderita penyakit serupa itu, bahkan saya tidak pernah melihat tanda-tanda sedikit j uapun. Adakah itu penyakit baru yang datang dengan sekonyong-konyong?" "Betul." "Adakah dokter-dokter sudah mengetahui sebab-sebab penyakit itu?" "Itu tidak perlu; sebabnya sudah saya beritahukan kepada mereka." "Anda tahu sebabnya?" "Ya. Sebabnya saya lihat dengan mata saya sendiri. Saya masih belum buta!" "Nah, sebutkanlah sebab itu." "Sebabnya ialah seekor kuda yang selalu tersandung atau tergelincir." "He?" tanya Old Shatterhand dengan sungguh-sungguh, walaupun hampir-hampir tak dapat menahan gelaknya. "Tadi sudah saya katakan bahwa kami mengendarai kuda dari Arkansas. Tunggangan saya ialah kuda yang agak baik, akan tetapi Droll menunggang kuda putih yang mempunyai cacat: binatang itu selalu tersandung-sandung saja. Jikalau tidak tersandung kepada lubang, batu atau akar pohon, maka ia tersandung pada kakinya sendiri." "Siapa yang mau membeli kuda semacam itu! Tambahan lagi kuda yang putih warnanya! Engkau tahu bahwa seorang pemburu prairi yang berpengalaman tidak mau mengendarai kuda putih, karena oleh warna putih itu dari jauh ia sudah tampak oleh musuh." "Ya, itu saya sudah tahu, tak usah Anda katakan. Tetapi apa daya kami jikalau kami harus mempunyai kuda dan tidak ada tersedia kuda lain daripada kuda putih? Harus kami catkah kuda itu supaya, apabila kena air hujan, berubah lagi menjadi kuda putih?" "Hm! Ajaib! Belum pernah saya melihat orang menjual kuda putih. Biasanya kuda serupa itu tidak ada ditawarkan orang." "Pendapat saya begitu juga, akan tetapi sudah kasip. Baru kemudian ternyata bahwa penjual kuda itu ada juga mempunyai kuda yang lain warnanya, akan tetapi disembunyikannya." "Ah, jadi Anda tertipu!" "Maaf, Mr. Shatterhand! Hobble-Frank tidak dapat ditipu orang. Akalnya masih sehat! Akan tetapi apa yang harus kami perbuat apabila kuda putih itu tersimpan di dalam kandang yang tertutup? Dapatkah Anda menyulap kuda putih menjadi kuda hitam atau kuda coklat? Dan dapatkah Anda dengan selayang pandang saja mengetahui bahwa kuda itu selalu tersandung-sandung saja? Bahwa binatang itu mempunyai cacat yang seburuk itu, tidaklah dapat kami sangkal." "Akan tetapi saya masih juga belum mengerti apa hubungan cacat itu dengan pulau Ischia. Mudah-mudahan saja kuda itu tidak tersandung kepada pulau tadi!" Frank memandang Old Shatterhand dengan pandang yang mengandung curiga. Ia khawatir kalau-kalau Old Shatterhand hendak memperolok-olokkan dia. Tetapi oleh karena wajah Old Shatterhand mengandung kesungguhan, maka ia menjawab: "Tidak, tidak begitu. Pulau itu tak lain daripada sebuah tunggul pohon." "Teruskanlah ceritera Anda." "Itu suatu ceritera yang aneh benar. Kami berjalan melalui semak-semak di antara rumput yang tinggi. Kami sedang gembira, bersiul-siul, karena kami sedikitpun tidak menduga bahwa kami akan melalui sebuah tunggul pohon yang tersembunyi di dalam rumput yang tinggi tadi. Sekonyong-konyong kuda Droll tersandung; karena sangat terkejut maka binatang itu melompat ke sisi. Itu tidak tersangka-sangka oleh Droll. Ia duduk dengan lengah, bahkan tidak memegang tali kekang. Tiba-tiba ia terlempar dan jatuh tepat di atas tunggul pohon tadi, seolah-olah ia terduduk di atas kursi. Pada saat itu saya mendengar dua buah bunyi: orang menjerit dan bunyi barang sesuatu patah. Jeritan itu berasal dari mulut Droll, akan tetapi adakah bunyi yang kedua tadi berasal dari Droll atau dari tunggul, itu tidak saya ketahui. Akan tetapi saya kira bunyi itu datangnya dari tubuh Droll. Anggota badannya tampaknya masih utuh, akan tetapi ia tidak dapat bangkit. Saya tolong dia berdiri, akan tetapi sebentar kemudian ia terduduk kembali. Ia mengeluh dan mengerang-erang. Semuanya itu kesalahan kudanya belaka." Semuanya itu diceritakannya bukan untuk membuat para pendengar tertawa, melainkan itu adalah perangainya. Ia menaruh belas kasihan yang tak terhingga terhadap saudara sepupunya Droll.. Sama sekali ia tidak menduga bahwa kisahnya lebih menerbitkan selera untuk tertawa daripada menerbitkan rasa belas kasihan. "Tahukah Anda sekarang apa hubungan antara kuda putih, tunggul pohon dan pulau Ischia?" tanyanya kepada Old Shatterhand. "Saya mulai mengerti," jawab Old Shatterhand. "Teruskan cerita itu." "Saya berusaha sekeras-kerasnya membantu Droll supaya dapat berdiri: kakinya saya tarik-tarik, saya pijit-pijit dan saya ombang-ambingkan, kemudian saya sodok dan saya tinju sehingga akhirnya ia melompat bangkit, tetapi bukan karena ia sudah sembuh kembali, melainkan karena kesakitan. Dengan susah-payah dapat ia saya tolong naik ke atas pelana lagi, tetapi bukan di atas kudanya sendiri melainkan di atas kuda saya, sebab sejak saat ia terlemparkan tadi tak mau ia menyentuh kudanya lagi. Badannya sudah menjadi kurus, beratnya sudah berkurang kira-kira tiga kilo. Semuanya itu dalam dua hari belaka! Dua hari lamanya kami berjalan ke Fort Manners. Perjalanan itu tak akan saya lupakan seumur hidup saya. Droll tak henti-hentinya mengerang-erang! Walaupun sedih sekali hati saya, namun kami berjalan terus dan dalam perjalanan itu selalu saja saya membujuk-bujuk Droll agar ia melupakan sakitnya. Tetapi akibatnya tak lain ialah penderitaannya kian bertambah saja. Saya mengucap syukur demi akhirnya benteng Manners tampak oleh kami. Di benteng itu kedua orang dokter yang sudah saya sebut tadi segera memeriksai keadaan Droll. Seluruh tubuhnya dilepa dengan pelbagai macam obat yang berupa bubur. Bahkan akhirnya ia harus meminum obat yang baunya seperti terpentin. Anda tahu bahwa orang yang waras otaknya tidak mau meminum terpentin, sekiranya ia tidak menderita sakit seperti itu." "Bagaimana sekarang, sudah sembuhkah ia?" tanya Old Shatterhand. "Berangsur-angsur. Seminggu kemudian ia sudah dapat menunggang kuda lagi, tetapi hanya dengan perlahan-lahan sekali. Untung sekali ia tahan sampai kami tiba di tempat ini, akan tetapi ia tidak mau melanjutkan perjalanannya walaupun dipukuli dengan cambuk sekalipun." "Sudah berapa lama Anda berdua ada di sini?" "Sejak kemarin dulu. Besok kami akan berangkat lagi." "Ke mana?" "Ke Santa Fe." "Ya, itu sudah kau katakan tadi, akan tetapi yang saya maksud ialah tempat mana yang menjadi tujuan Anda yang pertama?" "Kami hendak pergi ke Roofside melalui Alder-Spring." "Dalam keadaan biasa jalan itu baik sekali. Saya tahu bahwa engkau mengenal jalan itu, sebab dahulu sudah pernah kau tempuh bersama-sama dengan saya, akan tetapi sekali ini jalan itu akan membawa bencana bagimu, justru pada hari besok." "Sebab apa?" "Karena besok Mustang Hitam akan ada di sana bersama-sama dengan sepasukan orang Comanche. Engkau pasti akan jatuh ke tangannya." "Mustang Hitam, pembunuh pemburu prairi yang bengis itu?" tanya insinyur dengan terkejut. "Apa maksudnya datang ke Aider-Spring, dekat pada tempat kami? Adakah ia mempunyai maksud jahat terhadap kami, Mr. Shatterhand?" "Tidak, bukan Anda melainkan Winnetou dan saya yang dijadikan sasarannya." "Mengapa justru Anda berdua?" "Ia tahu bahwa kami akan pergi ke sana dan ia hendak menangkap kami." "AU devils! Untung sekali bahwa maksudnya itu sudah Anda ketahui. Tentu kini Anda tidak akan pergi ke sana, bukan?" "Justru sebaliknya: kami akan ke sana." "Tidak waraskah otak Anda, Sir? Anda hendak masuk ke dalam mulut beruang?" "Biarlah beruang itu membuka mulutnya selebar-lebarnya; ia tidak akan dapat menggigit kami." "Itu sikap yang semberono sekali! Apa gunanya, kalau Anda tidak terpaksa?" "Kata siapa kami tidak terpaksa? Kami harus pergi ke sana, bahkan saya kira Andapun akan menyertai kami juga." "Saya? Ya, sekiranya saya mendapat kesempatan, niscaya mau saya memuntahkan peluru saya kepada bedebah-bedebah itu, akan tetapi dengan sengaja mencari kesempatan serupa itu, tiadalah terpikir oleh saya." "Itupun tidak perlu, sebab mau tak mau Anda akan terseret juga. Ketahuilah bahwa dalam hal ini rekan Anda beserta anak buahnya di Firewood Camp tersebut juga." "Rekan saya?" "Ya, ia akan diserang oleh orang-orang Comanche." "He? Bersungguh-sungguhkah Anda?" "Ya! Itulah sebabnya maka kami datang ke mari dengan kereta api ekstra. Kami hendak memintakan bantuan Anda." "Bantuan itu akan kami berikan dengan segala senang hati. O, jadi itulah sebabnya! Ya, rekan saya itu seorang insinyur yang cakap, akan tetapi ia bukan pahlawan. Anda dapat mengandalkan bantuan saya dan anak buah saya." "Berapa banyak jumlah anak buah Anda?" "Kira-kira sembilan puluh orang, semuanya orang kulit putih yang pandai mempergunakan senjata. Tetapi tidak maukah Anda mengatakan bagaimana seluk-beluk urusan itu?" "Dengarkanlah! Jikalau Anda bersedia membantu kami, maka dapatlah saya katakan bahwa barangkali kami akan dapat menyelesaikan perkara ini tanpa menumpahkan darah, setidak-tidaknya pada pihak kami sendiri." "Saya tahu, saya tahu, Sir! Saya sudah acap kali mengalami bahwa apabila menghadapi orang lain dan menghendaki korban sedikit, harus benar-benar dengan kecerdikan dan perhitungan yang tepat. Saya ingin sekali mendengar keterangan Anda selanjutnya." Insinyur ini lebih tegas dan lebih jantan daripada rekannya di Firewood Old Shatterhand yakin bahwa bantuannya akan berharga sekali. Maka Old Shatterhand mengisahkan apa yang sudah terjadi pada malam sebelumnya, lalu membentangkan rencananya. Setelah ia selesai, maka insinyur itu segera bangkit, lalu mengulurkan tangannya seraya berkata: "Setuju, Sir! Tenaga saya beserta anak buah saya tersedia bagi Anda, katakanlah apabila Anda hendak mempergunakannya, sekarang atau nanti." Hobble-Frank menambah dalam bahasa Jerman: "Alhamdulillah! Kami sudah bertemu dengan Anda di sini. Kalau tidak atau kalau kasip Anda datang ke mari maka saya tidak akan mendapat kesempatan memelopori pasukan yang akan menyambut orang-orang kulit merah itu! Pemimpin orang-orang Comanche itu akan saya ajak berhadapan dengan saya. Kalau saya sudah marah tak ada orang dapat melawan saya. Droll akan segera saya panggil; pahlawan abad keduapuluh yang kenamaan itu tidak boleh ketinggalan." Ia bangkit lalu pergi ke luar. Sebentar kemudian ia sudah kembali membawa saudara sepupunya. Droll benar-benar kelihatan kurus, dan air mukanya menunjukkan bahwa ia sedang menderita, akan tetapi gerak tubuhnya tidak menunjukkan bahwa ia sedang menderita sakit. Girang benar hatinya bertemu dengan kami. Dengan segera ia menyatakan kesediaannya menyertai kami ke Aider-Spring. Winnetou, yang hingga kini berdiam diri saja, kini menyampaikan pelbagai pertanyaan kepada Droll. Pertanyaan-pertanyaan itu membuktikan bahwa ketua suku Apache itu mempunyai pengetahuan yang banyak sekali tentang susunan tubuh manusia dan tentang pelbagai jenis penyakit. Dari jawab Droll dapat kami mengambil kesimpulan bahwa ia benar-benar menderita sakit Ischia. Winnetou bangkit untuk mengambil sebuah kantong kulit yang berisi pelbagai macam obat. Kantong itu selalu dibawanya apabila ia pergi mengembara. Setelah ia memilih beberapa obat-obatan, maka ia berkata dengan tenang: "Saudara saya Droll hendaknya mengantarkan saya ke tempat tidurnya; penyakitnya akan hilang sama sekali dalam waktu satu jam saja." Ia memegang tangan Droll lalu mereka berdua pergi. Sebentar kemudian terdengarlah jeritan yang seolah-olah menusuk hati. "Itu Droll," seru Hobble-Frank. "Diapakan ia oleh Winnetou? Barangkali orang Apache itu sedang mencoba mengusir pulau Ischia, akan tetapi itu hendaknya dijalankannya dengan cara yang halus, yang tidak menyakiti saudara sepupu saya. Saya harus pergi menengok Bibi Droll sebab jeritan sengeri itu tidak tertahan oleh saya." Ia sudah bangkit dan hendak pergi, akan tetapi ditahan oleh Old Shatterhand yang berkata: "Tinggallah di sini, Frank! Winnetou tahu apa yang diperbuatnya. Justru untuk penyakit serupa itu orang Indian tahu obatnya yang mujarab!" Sebentar kemudian kebenaran kata-kata itu dibuktikan oleh kedatangan Winnetou. Ketua suku Apache itu berkata: "Saudara kita Droll harus menderita sakit yang hebat sekali untuk seketika saja. Kini ia beristirahat, akan tetapi sejam lagi ia sudah akan sembuh kembali, sebab pulau yang masyhur itu sudah saya usir dari dalam tubuhnya." Perkataan itu mengandung ejekan sedikit terhadap Frank, yang mengetahui juga apa maksud orang Apache itu. Maka dengan tergesa-gesa ia menjawab: "Apabila Winnetou hendak mengejek saya, maka ia harus pergi ke katulistiwa dahulu. Di sana ia akan mendapati bahwa pulau itu letaknya antara Rocky Ground dan Sigmaringen di Hohenzollern. Apa yang sekali saya katakan, tidak akan saya cabut kembali. Barangsiapa tidak tahu, mungkin akan sangsi, akan tetapi bagaimana juga saya tidak mau bertengkar dengan Winnetou. Sebab itu maka saya akan berdiam diri saja secara ilmiah. Howgh!" Ia menunggu jawab Winnetou, akan tetapi oleh karena orang Apache itu tidak menjawab, maka terpaksalah ia berdiam diri terus. Sejam kemudian Droll datang kembali seraya berseru, "Ajaib sekali, gentlemen, saya merasa seakan-akan dilahirkan kembali. Apa yang sudah diperbuat oleh Winnetou tadi, tiadalah saya ketahui. Barangkali ia sudah merentang-rentang atau mengoyak-ngoyak urat saraf saya, tetapi itu tidak saya acuhkan sama sekali. Kesehatan saya sudah pulih kembali. Kini saya dapat berkuda lagi dan Mustang Hitam akan mengalami sendiri bahwa Bibi Droll masih dapat menjalankan tugasnya dengan sepatutnya." VII KE ALDER SPRING Setasiun Rocky Ground terletak pada kaki Gunung Ua-pesch, yang puncaknya ditumbuhi oleh hutan lebat. Air dari gunung ini berkumpul di bawah menjadi sebuah sungai yang mengalir ke arah Tenggara dan kemudian membelok ke Utara. Tepat pada kelok ini bermuaralah sebuah batang air yang berasal dari sebuah gunung yang lain, yang dahulu sudah disebut Corner-Top dan kini masih bernama demikian juga. Gunung Ua-pesch dan gunung Corner-Top kedua-duanya merupakan batas pegunungan-pegunungan barisan yang mengapit sebuah lembah yang lebar lagi panjang. Lembah itu banyak sekali berkelok-kelok, sehingga para insinyur kereta api memutuskan tidak akan membuat jalan kereta api mengikuti jalan lembah tersebut, melainkan mengambil jalan memintas melalui pegunungan batu yang terletak antara Fire wood camp dan Rocky Ground. Fire wood-camp letaknya pada permulaan lembah dan terpisah dari Rocky Ground oleh sebuah pegunungan batu yang melintang. Orang-orang Comanche yang hendak pergi ke Aider-Spring, harus melalui lembah yang berkelok-kelok itu; jalan yang lain tidak ada. Sumber Aider-Spring itu letaknya pada kaki Corner-Top dan dikelilingi oleh pohon-pohonan yang tinggi. Air dari sumber itu dialirkan oleh batang air yang bermuara ke sungai yang sudah kami sebut tadi. Dibalik kedua gunung tersebut ada sebuah prairi yang luas, yang dilalui oleh kedua buah sungai yang sudah bersatu menjadi sungai yang agak besar. Prairi itu di sana sini ditumbuhi oleh beberapa hutan-belukar yang menutupi prairi, sehingga sebuah pasukan yang agak besarpun dapat mendekati padang rumput tersebut tanpa dapat dilihat orang. Orang-orang Comanche yakin bahwa Old Shatterhand dan Winnetou akan pergi ke Aider-Spring. Mereka bermaksud menunggu kedatangan mereka di sana serta menangkapnya. Untuk mencapai maksud itu maka orang-orang orang kulit merah tersebut harus bersikap sangat hati-hati, lebih-lebih oleh karena mereka harus menghadapi orang-orang seperti Old Shatterhand dan Winnetou. Kedua orang yang tersebut belakangan itu tidak boleh mengetahui bahwa orang-orang Comanche bersembunyi di Alder-Spring. Lain daripada itu tidak boleh ada sesuatu yang dapat menimbulkan dugaan pada mereka bahwa Mustang Hitam beserta pasukannya ada di sana. Karena itu maka sudah sewajarnyalah bahwa orang-orang Indian itu tidak dengan langsung pergi ke Aider-Spring, melainkan akan bersembunyi di dekatnya. Di mana mereka akan bersembunyi, itu adalah suatu pertanyaan yang penting sekali, yang harus dijawab oleh Old Shatterhand dengan kawan-kawannya. Oleh karena Aider-Spring terletak di sebelah kanan lembah maka orang-orang Indian akan mengambil jalan di sebelah kiri serta berjalan beberapa jauh ke prairi untuk kemudian berbalik dan mendekati Aider-Spring dari arah yang berlawanan. Dengan demikian maka mereka tidak akan meninggalkan jejak yang dapat diketahui oleh musuh-musuhnya. Apabila mereka datang dari sebelah prairi maka dengan mudah sekali orang-orang Comanche akan dapat bersembunyi untuk kemudian mendekati, mengepung dan menyergap musuhnya. Maka jelaslah bahwa apabila Old Shatterhand dan kawan-kawannya hendak datang mendahului orang-orang Indian serta hendak mengintai mereka, maka kelompok Old Shatterhand itu harus berjalan lebih jauh lagi ke dalam prairi serta memilih jalan yang lebih mengeliling. Karena itu maka Old Shatterhand dan kawan-kawannya tidak mengambil jalan yang melalui gunung Ua-pesch, melainkan, setelah dinihari, mereka membelok ke kiri serta berjalan jauh mengeliling, menuju ke savanna. Hari sedang cuaca baik sekali. Rumput dan pohon-pohonan segar-bugar, sesudah hujan lebat pada hari sebelumnya. Matahari memancarkan sinarnya yang seakan-akan mengubah tiap-tiap embun menjadi batu permata yang berkilau-kilauan. Berjalan melalui daerah seperti itu bagi setiap orang niscaya memberi kesenangan dan kenikmatan, kecuali... bagi seorang pemburu prairi di daerah Wild West, yang bermaksud mengintai pasukan Indian yang bermusuhan. Bunyi dengus dan depak kuda kedengaran dari jarak jauh oleh karena udara kering dan tidak padat. Lain daripada itu rumput yang segar memungkinkan adanya jejak yang barangkali sampai malam hari tampak dengan jelas sekali. Keadaan-keadaan itu dapat membahayakan seorang penyelidik. Baginya jiwanya lebih berharga daripada keindahan alam sekelilingnya. Oleh sebab itu maka dapatlah dipahami bahwa Cas, yang sampai kini berdiam diri saja, sekonyong-konyong berkata: "Indah benar cuaca dan pemandangan pada hari ini, sama indahnya dengan tempo hari pada ahli waris Timpe! Sungguhpun begitu saya lebih mengingini kabut yang lebat daripada cahaya matahari." Kelompok Old Shatterhand berjalan berurutan dua-dua: di muka sekali berjalan Old Shatterhand dengan Winnetou, kemudian Hobble-Frank dengan Bibi Droll dan di belakang mereka Cas dengan Has. Hobble-Frank masih belum dapat melupakan kecaman Cas mengenai pulau Ischia; karena itu maka ia tidak menyia-nyiakan kesempatan baik untuk membalas. Ia berkata: "Rupa-rupanya Anda bersahabat benar dengan pelbagai macam kabut. Adakah pulau Ischia diselubungi kabut juga?" Cas menjawab dengan tenang: "Itu hendaknya jangan Anda tanyakan kepada saya, melainkan kepada Bibi Droll. Ia lebih mengetahuinya, sebab dialah yang mengandung pulau itu di dalam kakinya." "Akan tetapi Droll tidak mengandung kabut! Anda berasal dari Hof di Beieren; di sana hari banyak berkabut, akan tetapi di tempat kelahiran saya, di Moritzburg, cuaca selalu baik." "Moritzburg? Di mana ada istana, di dekat Dresden? Di sanakah Anda dilahirkan?" "Bodoh benar pertanyaan Anda! Orang yang mempunyai pendidikan dan perkembangan rohani yang halus boleh menganggap seluruh dunia sebagai tanah airnya, akan tetapi saya tidak mau menyangkal bahwa Moritzburg boleh berterima kasih kepada saya oleh karena saya dilahirkan di sana. Memang ada beberapa tempat di mana hanya orang-orang besar saja dilahirkan dan tempat-tempat itu biasanya dapat dikenal oleh karena di sana ada istana." "Hm," jawab Cas dengan singkat. "Hm? Mengapa Anda mendeham saja? Masih belum jelaskah hubungan istana tadi?" "O, sudah jelas!" "Apakah yang masih belum Anda setujui?" "Bahwa di Moritzburg hanya dilahirkan orang-orang besar saja." "Anda barangkali dilahirkan di sana juga?" "Tidak." "Nah, itu adalah suatu bukti yang tak dapat disangkal bahwa hanya orang-orang besar saja berasal dari Moritzburg, seperti putera raja, raja dan para bangsawan. Sayapun memulai pengembaraan saya dari tempat itu juga, akan tetapi belum pernah saya mendengar bahwa di sana ada dilahirkan orang yang bernama Timpe. Nah, kini sudah saya ucapkan apa yang terkandung dalam hati saya. Jangan hendaknya dari sini ke atas Anda menyentuh lagi kepribadian saya yang halus dan sempurna ini!" Setelah melepaskan dendamnya itu maka Hobble-Frank kembali lagi menjadi seorang yang periang, tentu saja dengan syarat bahwa tidak ada orang yang akan menyangkal pendapatnya. Droll memalingkan kepalanya ke arah kedua Timpe dengan maksud meminta agar jangan hendaknya mereka menjawab lagi. Isyarat itu untung sekali dipahami oleh Cas dan Has. Keenam penunggang kuda itu sudah jauh sekali berjalan; gunung Ua-pesch sudah jauh di belakang mereka. Pada dugaan Old Shatterhand orang-orang Comanche tidak akan berjalan sejauh itu. Karena itu kini mereka membelok ke arah Selatan, dengan maksud dari sana mendekati gunung Corner-Top. Sumber Aider-Spring terletak di sebelah Barat gunung itu. Winnetou dan Old Shatterhand hendak mencapai gunung tersebut dari sebelah Timur. Dengan cara yang demikian dapatlah dihindarinya bahwa jejak mereka kelak akan dapat dilihat oleh orang-orang kulit merah. Gunung Corner-Top pada puncaknya tidak seberapa lebat ditumbuhi oleh hutan belukar; di sana ada beberapa tempat dari mana orang dapat melayangkan pandangannya dengan leluasa. Jadi tiadalah sukar bagi mereka untuk melihat orang-orang Comanche datang Kini sampailah mereka pada sebelah Timur gunung Corner-Top. Di sana mereka segera mendapatkan tempat persembunyian di mana kuda mereka beserta keempat orang pengikut dapat bersembunyi sedangkan Winnetou dan Old Shatterhand mulai mendaki gunung untuk mencari tempat darimana mereka dapat melihat dengan leluasa ke arah lembah. Setelah mereka mencapai puncak gunung maka mereka memilih salah satu dan tempat-tempat yang gundul yang serasi bagi tujuan mereka. Mereka memilih tempat yang terletak di sebelah Barat, sebab dari sana mereka dapat melihat lembah dari mana orang-orang Comanche dapat diharapkan akan datang. Winnetou segera duduk di atas tanah, Old Shatterhand duduk di sebelahnya. Dalam pada itu mereka tiada mengeluarkan kata sepatahpun. Mereka tiada pernah memerlukan kata-kata untuk memahami maksud mereka. Hampir tiga jam lamanya mereka duduk berdampingan dengan berdiam diri saja. Orang yang melihat mereka duduk secara itu tentu mengira bahwa maksud mereka tak lain daripada melepaskan lelah belaka. Tidak sebuah gerakpun menunjukkan bahwa seluruh perhatian mereka terpusatkan kepada daerah di sebelah Barat. Tidak seorangpun akan menyangka bahwa tidak ada perubahan di lembah yang akan luput dari pengamatan mereka. Itulah keagungan pemburu prairi daerah Wild West: usaha yang sebesar-besarnya diselubunginya dengan air muka yang menunjukkan sikap acuh tak acuh. Sekonyong-konyong Winnetou berkata: "Uf!" "Ya, mereka datang," jawab Old Shatterhand dengan mengangguk. Sesungguhnya di daerah lembah tidak ada kelihatan apa-apa. Bagi orang biasa tidak ada tampak perubahan sedikitpun, akan tetapi bagi mereka berdua, yang melihat seekor burung ruak bergerak di udara, sudah tampaklah tanda-tanda bahwa jauh di bawah ada manusia yang sedang bergerak. Betul! Sebentar kemudian tampillah dari semak-belukar seorang penunggang kuda yang kemudian berhenti sebentar untuk melayangkan pandangnya ke sekelilingnya. Demi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, maka ia berjalan terus. Segera ia disusul oleh kira-kira empatpuluh, bahkan kemudian ternyata lebih daripada delapanpuluh orang penunggang kuda. Karena mereka itu jauh sekali maka kuda mereka tampaknya hanya sebesar anjing kecil belaka. Bahwa mata Winnetou sangat tajam terbukti daripada perkataannya: "Ya, mereka adalah orang-orang Comanche yang kita nantikan." "Ya," demikian Old Shatterhand menambah. "Tokvi Kava berjalan di depan sekali." "Ketua suku Comanche itu selalu membanggakan diri bahwa ia adalah seorang prajurit yang sangat cerdik, akan tetapi kini ia membuat suatu kesalahan yang tidak dapat dipahami, baik oleh saudara saya Shatterhand maupun oleh saya." "Ya, ia pernah mengatakan bahwa kecerdikannya dan keberaniannya tidak ada bandingnya. Saya tahu apa yang dimaksud oleh saudara saya Winnetou. Mustang Hitam datang dari perkemahan Firewood dan ia yakin bahwa tadi pagi kami berangkat juga dari sana, jadi berjalan di belakangnya. Dalam pada itu sedikitpun tidak diindahkannya bahwa jejak yang dibuatnya pada rumput yang segar itu dapat dilihat oleh orang yang berjalan di belakangnya." Ketua suku Apache, yang air mukanya biasanya tenang dan bersungguh-sungguh itu, kini tersenyum dan iapun berkata: "Dan ia hendak menangkap Old Shatterhand dan Winnetou! Uf!" "Ketika Anda masih kecil, Anda tidak akan membuat kesalahan sebodoh itu." "Andapun tidak juga, ketika Anda masih seorang Greenhorn. Lihatlah, mereka berbuat tepat seperti yang kita duga. Mereka membelok ke sisi lembah sebelah sana, agar sekiranya kita mengikuti mereka, kita tidak akan mengira bahwa mereka menuju ke balik Corner-Top untuk pergi ke Aider-Spring!" Orang-orang Comanche berjalan menyusur pegunungan yang merupakan batas lembah di seberang, sampai mereka tiba di kaki gunung Ua-pesch. Di sana mereka tidak mengubah arahnya, melainkan berjalan terus melalui prairi seakan-akan hendak pergi ke tujuan yang jauh sekali. "Ya, nanti mereka akan membelok dan berjalan ke mari. Salah seorang dari kita harus turun untuk mengintai di mana mereka akan bersembunyi dan memasang kemah; yang seorang lagi harus tetap tinggal di sini." Ia tidak mengatakan apa sebabnya maka yang lain harus tinggal di atas, akan tetapi Winnetou segera memahaminya. Ia menganggukkan kepalanya seraya berkata: "Ya, yang tinggal di sini harus menantikan kedatangan Ik Senanda yang akan menipu dan mengkhianati orang-orang kulit putih yang membuat jalan kereta api. Kemarin malam ia menyusul orang-orang Comanche dan dalam gelap-gulita itu ia tidak dapat melihat pasukan orang-orang kulit merah itu. Akan tetapi ia tahu jalan di sini dan hari ini niscaya akan mendapatkan jejak mereka dan dengan segera menyusul pasukan Comanche itu. Saudara saya orang kulit putih hendaknya tinggal di sini untuk menantikan kedatangan Ik Senanda. Saya akan turun ke bawah untuk mengetahui di mana orang-orang Comanche memilih tempat persembunyiannya." VIII PERCAKAPAN CUCU DENGAN NENEK Setelah Winnetou pergi maka Old Shatterhand duduk kembali serta memasang matanya. Satu jam sudah lewat, akan tetapi Ik Senanda belum kunjung datang. Sesungguhnya seharusnya ia sudah sampai ke lembah. Walaupun begitu Old Shatterhand tidak kehilangan kesabarannya, sebab ia tahu bahwa ada berpuluh-puluh sebab yang mungkin menghambat perjalanan peranakan Indian itu. Sejam kemudian Old Shatterhand belum melihat apa-apa yang dapat menunjukkan bahwa ada orang datang. Baru setengah jam kemudian tampaklah olehnya seorang penunggang kuda yang sedang mengamat-amati jejak orang-orang Comanche. Kini tahulah Old Shatterhand bahwa Ik Senanda akan menempuh jalan mengeliling yang dilalui oleh pasukan Comanche itu. Untuk sampai ke kaki gunung Corner-Top ia memerlukan sekurang-kurangnya satu jam. Maka dapatlah Old Shatterhand meninggalkan tempat pengintaiannya, lalu turun ke bawah menuju ke tempat kawan-kawannya. Di sana didapatinya juga Winnetou. Segera dikabarkannya bahwa ia telah melihat peranakan Indian datang; maka ketua suku Apache berkata: "Lambat sekali datangnya. Dapatkah saudara saya menduga apa sebabnya?" "Ada seribu satu kemungkinan yang menghambat perjalanannya," jawab Old Shatterhand. "Boleh jadi tidak ada paksaan yang menghambat perjalanannya, mungkin sekali disengajanya." "Bagi saya lebih menyenangkan sekiranya ia, setelah lari, balik kembali ke perkemahan untuk mengintai." "Apa kata Anda?" tanya Hobble-Frank. "Anda lebih menyukai apabila ia mengintai kita?" "Ya." "Bukankah pada umumnya orang tidak suka diintai oleh musuh?" "Ya, akan tetapi tidak dalam hal ini." "Itu saya tidak mengerti. Sekiranya ia mengintai kita, maka niscaya ia mengetahui bahwa kita meninggalkan perkemahan Firewood dengan kereta api." "Justru itulah yang menyenangkan hati saya." "Mr. Shatterhand, jelaskanlah pendapat Anda. Perjalanan kita dengan kereta api adalah suatu hal yang penting sekali. Apabila itu diketahui oleh musuh kita, maka itu niscaya tidak akan menguntungkan kita!" "Jangan khawatir, sahabatku Frank. Mudah-mudahan engkau tidak mengira bahwa saya bersikap semberono." "Sama sekali tidak! Betapa Anda dapat mempunyai sangkaan serupa itu! Anda adalah contoh saya, guru saya, idam-idaman saya." "Jika engkau mempercayai saya, maka barangkali engkau akan segera mengetahui bahwa pendapat saya benar. Winnetou dan saya akan pergi sebentar untuk mengintai orang-orang Comanche. Anda berempat tinggal di sini dengan tenang; jangan sekali-kali meninggalkan tempat ini sebelum kami kembali!" "Tetapi sekiranya Anda tidak balik kembali, bagaimana?" "Kami pasti kembali, setidak-tidaknya salah seorang dari kami. Percayalah!" Old Shatterhand berpaling kepada Winnetou sambil bertanya: "Tahukah saudara saya di mana musuh kita memasang kemahnya?" "Ya, saya tahu," jawab ketua suku Apache. "Jauh dari sini?" "Tidak." "Sukarkah mereka kita intai?" "Sukar untuk orang lain, akan tetapi mudah sekali bagi Old Shatterhand dan saya. Saudara saya boleh mengikut saya!" Mereka menanggalkan bedilnya, karena senjata-senjata itu hanya akan mengganggu saja apabila mereka nanti harus merangkak. Yang dimaksud dengan "bedil mereka" ialah bedil yang dipinjamkan oleh insinyur di Rocky Ground, sebab, sebagai telah kita ketahui, bedil mereka sendiri telah dicuri oleh Mustang Hitam. Kira-kira sepuluh menit lamanya Winnetou membawa sahabatnya melalui hutan belukar tanpa mengindahkan sikap hati-hati. Kemudian sampailah mereka pada suatu tempat di mana tidak ada pohon-pohonan lagi yang tegak, melainkan pohon-pohonan yang tumbang oleh badai yang mengamuk beberapa lama sebelumnya. Di antara batang-batang pohon yang sudah mati itu telah tumbuh semak-semak yang sedemikian lebatnya sehingga margasatwapun akan dapat menerobosinya. "Kita menerobos?" tanya Old Shatterhand. Winnetou mengangguk seraya berbisik: "Di sebelah kiri kita ada batu-batuan; itu tidak dapat kita lalui. Di sebelah kanan kita prairi, di mana kuda musuh kita sedang memakan rumput dan di sanapun tentu ada penjaga. Di balik semak-belukar yang lebat ini pasukan orang Comanche berkemah. Semak belukar ini lebarnya belum ada duapuluh langkah; itu harus kita terobosi." "Saudara saya sudah sampai ke sana?" "Ya. Saudara saya Shatterhand akan segera melihat jalan kecil yang sudah saya buat tadi." "Tahukah Anda tempat ketua sukunya?" "Ya, saya tahu. Barangkali kita dapat mendekat sampai dapat kita mendengarkan apa yang dikatakannya." Winnetou merangkak beberapa langkah menyusur pinggir semak-semak; kemudian ia berbaring lalu menguakkan beberapa ranting dan daun. Old Shatterhand segera mengikut dari belakang. Kini ternyata sekali lagi betapa cakapnya ketua suku Apache itu. Dengan pisaunya ia sudah dapat meretas sebuah jalan yang lebarnya belum ada seperempat meter; ranting dan daun-daunan yang mengganggunya sudah dipotongnya dan semak-semak sebelah atas sedikitpun tidak ada yang terkuak atau terpotong. Jalan itu meliku-liku, akan tetapi tidak seberapa menyusahkan. Dalam pada itu mereka menjumpai dua ekor ular; yang seekor lari dan yang seekor lagi telah tertikam oleh pisau Winnetou. Sebentar kemudian ketua suku Apache memalingkan mukanya sambil menunjuk kepada hidungnya. Old Shatterhand memahami isyarat itu; ia mencium-cium untuk mengetahui bau apa yang dimaksud oleh Winnetou. Ia mencium bau asap, lalu memberi isyarat kepada Winnetou bahwa ia mengetahui maksud sahabatnya. Kini mereka sudah dekat pada tempat perkemahan pasukan Comanche. Mereka merangkak terus dengan hati-hati sekali; akhirnya sampailah kepada suatu tempat di mana Winnetou telah membuat ruang yang agak lapang. Di sana ia berhenti lalu memberi isyarat kepada sahabatnya untuk mendekat serta berbisik: "Adakah saudara saya mendengar bahwa kita sudah dekat sekali pada tempat musuh kita?" "Tidak," jawabnya dengan berbisik. "Untuk melihat mereka kita hanya harus menguakkan beberapa ranting saja." "Saya tidak ada mendengar apa-apa, tidak ada mendengar orang berbicara. Tidurkah mereka?" "Ya. Mereka beristirahat, oleh karena mereka berjalan semalam suntuk." "Ya, itu benar. Apalagi ketua sukunya, ia tentu lelah sekali sebab kemarin malam ia berjalan pulang-balik ke perkemahan Firewood." Kini Winnetou menguakkan beberapa ranting lalu berbisik: "Nah, saudara saya dapat melihat sendiri betapa dekatnya kita kepada mereka." Tidak lebih jauh daripada kira-kira lima langkah Old Shatterhand melihat Tokvi Kava berbaring. Ketua suku itu sedang tidur. Agak jauh sedikit kelihatan pula para prajuritnya sedang tidur. Mereka rupa-rupanya sudah letih sekali dan mereka merasa aman sekali oleh penjagaan yang dipasangnya pada sebelah prairi. Mustang Hitam meletakkan senjatanya dekat sekali pada badannya; itu ialah kebiasaan setiap pemburu prairi atau prajurit kulit merah yang sedang mengembara di daerah Barat. Bersandar pada sebuah batang pohon ada sebuah bungkusan yang panjang. Bungkusan itu diselubungi oleh selimut Tokvi Kava dan diikat dengan cermat dengan sebuah lasso. Mata Old Shatterhand bersinar-sinar ketika ia melihat bungkusan itu. Dengan lengannya ia menyentuh Winnetou dan, sambil menunjuk ke arah bungkusan itu, ia berbisik: "Dapatkah saudara saya menerka apa yang terbungkus di dalam selimut itu?" "Bedil kita!" "Ia sedang tidur; prajurit-prajurit yang lain tidur pula, jadi kita dapat mengambil kembali senjata-senjata kita." "Jangan!" "Ya, pendapat saudara saya selalu benar. Senjata-senjata itu belum boleh kita ambil." "Ya! Orang-orang Comanche tidak boleh mengetahui bahwa kita sudah tahu tempat perhentian mereka." "Mudah-mudahan jangan terlampau lama kita harus membiarkan bedil-bedil itu di tangan mereka." "Tangan saya pun sudah gatal juga untuk mengambil milik kita yang sangat berharga itu, akan tetapi kita harus menaruh sabar. Dengarlah! Anda mendengar orang berteriak?" "Itu suara seorang penjaga," jawab Old Shatterhand. "Ik Senanda rupa-rupanya sudah sampai ke tempat penjagaan." Kemudian kedengaran beberapa orang berseru-seru. Sekalian yang sedang tidur, kini jaga lalu bangkit. Sebentar kemudian tampaklah peranakan Indian itu menghampiri perkemahan. Ia segera turun lalu menghampiri Tokvi Kava. Ketua suku Comanche bertanya dengan suara yang mengandung keheranan: "Andakah itu, cucu saya! Adakah aku memberi engkau izin untuk mengikuti saya?" Oleh karena Ik Senanda tidak segera memberi jawab, bahkan pergi duduk di sebelahnya, maka Mustang Hitam menyambung: "Tiadakah sudah kuperintahkan kepadamu agar mengintai orang-orang kulit putih dan tinggal pada mereka sampai kami datang atau kami memberi kabar?" "Itu betul," jawab cucunya. "Tetapi engkau sudah meninggalkan kewajibanmu!" "Karena terpaksa. Nenek akan insaf bahwa saya tidak dapat berbuat lain." "Jikalau itu tidak saya insafi maka itu tidak akan menguntungkan bagimu. Hanya hal-hal yang sangat penting saja dapat menjadi alasan bagimu untuk meninggalkan perkemahan Firewood." "Betul. Memang ada terjadi sesuatu hal yang sangat penting." "Dan hal itu niscaya terjadi segera setelah kami berangkat, sebab engkau segera sesudah itu menyusul kami. Ayo, katakanlah apa yang sudah terjadi." "Anda ialah ayah ibu saya dan Anda mengenal saya sejak saya dilahirkan. Sudah pernahkah saya memberi alasan kepada Anda untuk memarahi saya? Apa sebabnya Anda sekarang mengancam saya sebelum Anda tahu apa sebabnya maka saya datang ke mari." "Karena kita sedang hendak menangkap musuh kita yang paling besar." "Anda tidak akan menangkap mereka," jawab Ik Senanda dengan tenang. "Tidak?" seru ketua suku itu dengan marah. "Mengapa tidak?" "Karena mereka sudah pergi." "Sudah pergi? Tentu saja mereka sudah meninggalkan perkemahan Firewood, sebab tadi pagi mereka akan berangkat ke mari." "Anda lupa bahwa sudah kemarin malam saya terpaksa meninggalkan Firewood. Apabila saya mengatakan bahwa mereka sudah pergi, maka maksud saya ialah bahwa mereka bukan tadi, melainkan kemarin meninggalkan Firewood." "Uf! Tetapi niscaya sesudah kami berangkat." "Ya." "Uf! Uf! Kalau begitu kita harus bersiap-siap, sebab setiap saat mereka dapat datang ke mari." "Mereka sama sekali tidak akan datang ke mari." "He? Tidak... ke mari?" kata Mustang Hitam dengan tercengang. "Ke mana mereka pergi?" "Itu saya tidak tahu, tetapi mereka pasti pergi jauh, sebab mereka pergi dengan kereta api. Pemburu orang kulit putih hanya berbuat demikian apabila mereka hendak membuat perjalanan yang jauh sekali." "Dengan kereta api? Tahu benarkah engkau? Tidakkah engkau salah lihat?" "Tidak. Saya melihat mereka naik." "Uf! Uf! Uf! Bukankah mereka semula bermaksud hendak datang ke mari, ke Aider-Spring? Apa sebabnya mereka sekonyong-konyong pergi?" "Mereka takut!" "Diam! Saya membenci Winnetou dan Old Shatterhand, akan tetapi saya tahu bahwa mereka tidak mengenal takut." "Boleh jadi mereka tidak takut, akan tetapi jangan Anda lupakan bahwa mereka ditemani oleh dua orang kulit putih yang tidak seberani mereka. Karena mereka itulah barangkali mereka berangkat dengan tergesa-gesa." "Tetapi apa sebabnya maka mereka merasa takut?" "Takut akan Anda dan prajurit-prajurit kita." "Takut akan kita? Tetapi mereka tidak tahu-menahu tentang kita!" "Mereka tahu bahwa Firewood akan diserang oleh prajurit-prajurit kulit merah." "Uf! Uf! Dari siapa mereka mengetahuinya? Siapa yang sudah mengkhianati saya? Adakah engkau sendiri sudah lengah?" Kini Ik Senanda kehilangan kesabarannya, lalu menjawab dengan marah: "Jangan hendaknya nenek selalu hendak mempersalahkan saya! Sudah pernahkah saya lengah atau bersikap kurang hati-hati? Anda sendiri yang lengah! Karena Anda bersikap tidak hati-hati maka mereka sudah lepas dari genggaman kita!" Mustang Hitam segera mencabut pisaunya seraya berseru: "Indahkanlah kepada siapa engkau berbicara, hai budak kecil! Perlukah pisau ini memberi pelajaran kepadamu bagaimana hendaknya engkau menghormati ayah ibumu, ketua suku orang Comanche yang paling masyhur? Beranikah engkau mengecam Mustang Hitam serta mendakwa bahwa ia dapat berbuat kurang hati-hati." "Anda memarahi saya oleh kesalahan yang Anda perbuat sendiri." "Buktikanlah itu!" "Sekiranya Old Shatterhand dan Winnetou datang ke mari, dapatkah kita menangkap mereka?" "Pasti, jangan itu kausangsikan." "Dan segala miliknya, akan kita peroleh jugakah?" "Ya." "Kuda mereka juga?" "Ya, kuda mereka juga." "Mengapa Anda tidak menunggu sampai malam ini? Mengapa Anda kemarin mencuri kuda mereka?" "Men... cu... ri," demikian ketua suku Comanche mengulang kecaman cucunya. "Tahu apa engkau?" "Segala-galanya. Apa yang tidak segera saya ketahui, saya dengar kemudian, ketika musuh-musuh kita mengira bahwa saya sudah lari. Rencana kita akan berhasil baik sekiranya Anda tidak pergi ke gudang untuk mengambil kuda musuh kita. Kalau Anda tidak berbuat begitu, maka kedua orang musuh kita yang terbesar kini akan berjalan kemari sehingga pasti dapat kita tangkap. Betapa girangnya para prajurit orang Comanche sekiranya kita memperoleh kemenangan sebesar itu. Saya akui bahwa Kita Homascha, yang Anda suruh ke perkemahan Firewood untuk menyampaikan pesan Anda kepada saya, ada juga menimbulkan curiga sedikit, akan tetapi, saya sudah berhasil menghilangkan curiga itu, oleh karena orang-orang kulit putih tidak dapat membuktikan apa-apa. Tetapi dengan tiba-tiba kuda Winnetou dan Old Shatterhand berdengus-dengus di muka pintu! Itu menggemparkan sekalian penghuni perkemahan. Untung sekali para orang kulit putih itu mengira bahwa kuda itu melepaskan diri dari tambatannya dengan usahanya sendiri, akan tetapi saya tak dapat ditipu, sebab pintu gudang itu tertutup dengan palang. Lagi pula tali kekangnya tidak putus, bahkan pada tali kekang itu ada terikat seutas tali yang mula-mula tidak ada. Bagi setiap orang yang dapat mempergunakan akalnya sudah jelaslah bahwa kuda itu dicuri orang. Oleh siapa? Oleh siapa lagi kalau bukan Anda! Masih tiada maukah Anda mengaku?" Mustang Hitam termenung sebentar; air mukanya sedikitpun tidak berubah; ia tidak menjawab. Cucunya menyambung: "Anda berdiam diri saja. Itu membuktikan bahwa pendapat saya benar. Tentu saja orang-orang kulit putih kini sedang mencari pencurinya." "Bukankah mereka sudah pergi?" sela ketua suku. "Tetapi jejak-jejaknya masih ada! Adakah Anda mengira bahwa Old Shatterhand dan Winnetou tidak pandai membaca jejak? Jejak Anda sudah didapatinya, demikian pula jejak saya dan jejak Kita Homascha. Mereka mengetahui hubungan kita dan rencana kita. Saya hendak ditangkapnya dan hampir saja saya dikeroyok, akan tetapi mujur sekali masih dapat saya melarikan diri. Segera saya naik ke atas kuda saya lalu lari sekencang-kencangnya." "Uf! Uf! Perlukah Anda lari?" "Ya." "Mereka tidak dapat membuktikan kesalahan Anda!" "Jejak-jejak itu merupakan bukti yang cukup jelas. Pondok saya pun dibakarnya habis-habis. Mungkinkah mereka berbuat begitu apabila mereka tidak yakin bahwa saya bersalah? Anda tahu betapa kerasnya orang-orang kulit putih melaksanakan undang-undang prairi. Saya hanya dapat menyelamatkan jiwa saya dengan lari secepat-cepatnya. Sekiranya saya tinggal di sana maka niscaya saya digantung pada pohon. Di tengah jalan saya memperoleh akal yang baik; saya hendak mengetahui adakah Winnetou dan Old Shatterhand barangkali mengurungkan maksudnya untuk pergi ke Aider-Spring. Itu perlu sekali saya ketahui. Kemudian ternyata bahwa dugaan saya benar, sebab saya melihat mereka beserta kudanya naik ke dalam gerbong kereta api yang segera berangkat. Jadi mereka pasti tidak akan pergi ke Aider-Spring. Setelah mereka pergi, maka saya meninggalkan perkemahan Firewood lalu berjalan ke mari untuk melaporkan kepada Anda apa-apa yang sudah terjadi. Kini saya ada di sini; marahilah saya, apabila Anda dapat memarahi saya. Apabila ada hukuman yang harus dijatuhkan, maka hukuman itu tidak akan menimpa saya, melainkan menimpa orang yang melakukan pencurian kuda sehingga mengacaukan rencana suku Comanche. Howgh!" Selesailah laporannya. Kini ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh neneknya. Ketua suku Comanche itu berdiam diri saja; kepalanya terkulai, akan tetapi sebentar kemudian diangkatnya kembali kepalanya, lalu melayangkan pandangannya ke sekelilingnya. Percakapan mereka tidak ada didengar oleh orang lain, sebab tidak ada seorang prajuritpun berani mendekati mereka, demikian takut mereka kepada ketua sukunya. Tidak seorangpun ada mendengar pula kecaman Ik Senanda terhadap neneknya. Akhirnya Mustang Hitam berkata dengan perlahan-lahan: "Ya, benar, saya sudah mengambil kuda Winnetou dan Old Shatterhand dari dalam gudang. Iltschie dan Hatatitla adalah sedemikian masyhurnya sehingga akal sehat saya menjadi kabur dan saya sudah berbuat sebagai seorang kanak-kanak. Sedemikian besar hasrat saya untuk memiliki kedua ekor kuda itu sehingga tiada terpikir oleh saya bahwa akhirnya kuda itu akan saya miliki juga apabila Winnetou dan Old Shatterhand nanti sudah saya tangkap. Darah saya mengalir di dalam tubuhmu juga dan karena itu jangan hendaknya engkau mengatakan kepada siapapun, apa akibat perbuatan saya yang tergesa-gesa itu." "Saya akan berdiam diri," jawab cucunya. "Tahukah Old Shatterhand dan Winnetou dengan berapa orang saya datang ke perkemahan Firewood kemarin?!" "Ya." "Tahu jugakah mereka siapa orang-orang itu?" "Tidak, mereka hanya mengetahui bahwa mereka didatangi orang-orang kulit merah yang bersikap bermusuhan." "Tahukah mereka bahwa kita hendak menyerang perkemahan mereka?" "Itu sudah diduganya dan bagi pemburu prairi seperti mereka dugaan itu sama artinya dengan kepastian." "Adakah mereka mempunyai dugaan juga bilamana serangan itu akan dilakukan?" "Tidak. Akan tetapi perlu kiranya saya katakan juga, bahwa mereka menyebut saya Ik Senanda. Mereka tidak percaya bahwa nama saya Yato Inda." "Jadi mereka memandang engkau sebagai pengkhianat?" "Ya." "Kalau begitu mereka yakin bahwa engkau cucu saya dan dengan demikian tentu mereka mempunyai sangkaan bahwa sayalah yang hendak menyerang perkemahan mereka. Apa kata mereka tentang kehilangan bedil mereka?" "Bedil mereka?" tanya peranakan Indian itu dengan tercengang. "Mereka kehilangan bedilnya?" "Ya." "Uf! Uf! Uf! Di mana?" "Di perkemahan Firewood. Bedil itu saya dapati di sana." "Anda... mendapati... bedil-bedil itu... di sana? Anda? Bedil Old Shatterhand dan bedil Winnetou?" "Ya, betul," jawab Tokvi Kava sambil matanya bersinar-sinar kegirangan. "Bedil perak Winnetou?" "Ya." "Bedil khasiat Old Shatterhand?" "Ya." "Dan bedil pembunuh-beruang?" "Ya." "Di mana senjata-senjata itu? Ada di sini?" "Ya, di sini," jawab ketua suku itu sambil menunjuk ke arah bungkusan. "Uf! Uf! Uf! Sekali ini Manitou Besar telah memberkahi usaha prajurit-prajurit Comanche. Itu merupakan jarahan yang akan menimbulkan iri hati semua suku orang kulit merah. Bagaimana senjata-senjata itu jatuh ke tangan Anda?" "Dengan perantaraan pencurinya. Dari merekalah senjata-senjata itu saya rampas!" Maka diceritakannyalah bagaimana ia merampas senjata-senjata itu dari tangan kedua orang Tionghoa. Ceriteranya diakhirinya dengan kata-kata: "Uf! Uf! Itu tidak saya sangka-sangka! Old Shatterhand dan Winnetou telah pergi, walaupun bedil-bedil mereka dicuri orang. Tiada ganjilkah itu atau... mungkinkah mereka hendak menipu kita? Saya yakin bahwa mereka tidak akan mau meninggalkan senjata mereka yang masyhur begitu saja, melainkan tentu mereka akan berusaha sekeras-kerasnya untuk memperolehnya kembali." Cucunya menggelengkan kepalanya seraya berkata: "Mereka tidak akan berusaha apapun juga." "Mengapa demikian pendapat Anda?" "Barangsiapa masih mempunyai akal sehat akan sependapat dengan saya. Karena apakah mereka sudah menjadi masyhur? Justru karena bedil mereka. Dengan apa mereka melakukan perbuatan-perbuatan mereka yang jantan? Dengan bedil mereka. Oleh bedil itu mereka sudah menjadi masyhur, menjadi terkenal sebagai pahlawan akan tetapi tanpa bedilnya mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kini bedil mereka sudah dicuri orang; jadi mereka sudah insaf bahwa mereka sudah tidak berdaya lagi, tidak dapat memberi perlawanan dan tidak akan dapat mempertahankan perkemahan apabila diserang. Mereka yakin bahwa akhirnya mereka harus menyerah. Karena itulah maka mereka lari tunggang-langgang. Kini saya tahu apa sebabnya maka mereka mengurungkan maksudnya untuk pergi ke Alder-Spring. Mereka tahu bahwa dengan kehilangan bedilnya mereka kehilangan juga kesaktiannya dan pasti mereka insaf bahwa apabila mereka harus berjuang melawan kita, maka mereka akan kalah. Mereka takut, akan binasa!" Keyakinan dan kegembiraan peranakan Indian itu sangat mempengaruhi Mustang Hitam; iapun berkata: "Uf! Uf! Benar kata Anda! Mereka takut akan kita serang. Mereka lari sebagai anjing kena sepak. Mereka sudah lolos, akan tetapi senjata mereka sudah ada pada kita. Kini tinggallah kita mengambil scalp orang-orang kulit kuning. Bukan main! Kita akan menjadi masyhur, kita akan dipuji-puji seluruh suku kulit merah! Tetapi kita tidak boleh lengah. Kini orang-orang kulit putih sudah tahu bahwa mereka akan kita serang. Mereka akan pergi mengambil bantuan. Jadi kita tidak boleh membuang-buang waktu. Kita harus lekas-lekas pergi ke Firewood sebelum balabantuan itu datang. Jangan kita enak-enak saja duduk di sini. Oleh karena Old Shatterhand dan Winnetou tidak akan datang ke mari, maka tidak ada gunanya kita menunggu di sini. Kita berangkat sekarang! Betul kuda kita sudah lelah dan demikian juga prajurit-prajurit kita, akan tetapi apabila sebelum hari malam kita dapat sampai ke tempat yang oleh orang-orang kulit putih disebut Gua-Birik, maka kuda kita akan dapat melepaskan lelah di sana." "Jadi serangan itu hendak Anda lakukan dari Gua-Birik?" "Ya, sebab tempat itu adalah satu-satunya yang paling serasi untuk maksud kita. Di sana pasukan kita harus menunggu, sedang saya akan mengintai perkemahan Firewood agar dapat menentukan saat yang sebaik-baiknya untuk mengepung mereka, sehingga tak seorang kulit putih atau kulit kuning dapat meloloskan diri." "Pekerjaan menyelidik itu jangan Anda lakukan sendiri, itu akan saya kerjakan, sebab saya lebih mengenal perkemahan dan penghuninya." "Jangan, Anda tidak boleh ikut." "Tidak boleh ikut?" tanya Mestis dengan heran. "Ya." "Sebab apa?" "Justru karena engkau dikenal orang di sana. Kalau mereka melihat engkau, maka rencana kita akan diketahuinya juga. Lain daripada itu masih ada sebab-sebab yang lain mengapa engkau harus tinggal di sini. Engkau harus menjaga ketiga buah bedil rampasan kita." "Bedil-bedil itu akan Anda tinggalkan di sini?" "Ya. Apabila sudah selesai pekerjaan kita, maka kita akan balik ke mari. Apa gunanya senjata-senjata yang sangat berharga itu akan saya bawa kian-kemari? Itu merupakan risiko yang besar. Bukankah kita harus berkelahi dan dengan demikian tentu akan ada kemungkinan bahwa bedil-bedil itu akan hilang atau rusak. Ketiga buah senjata ini bagi saya lebih berharga daripada semua scalp yang dapat kita peroleh di perkemahan Firewood. Tidak, bedil-bedil itu saya tinggalkan di sini dan akan saya jemput besok, apabila kita pulang. Engkau harus menjaganya, sebab tidak ada orang lain yang lebih saya percayai." Mestis itu merasa bangga karena mendapat kepercayaan sebesar itu, akan tetapi ia masih berkata pula: "Sungguhpun begitu saya ingin juga ikut, sebab saya harus mendapat kepastian bahwa saya akan mendapat bagian dari jarahan seperti yang sudah Anda janjikan kepada saya." "Engkau tak usah sangsi. Engkau akan mendapat bagianmu. Itu sudah saya janjikan dan janji saya boleh kaupandang sebagai sumpah." "Jadi segala emas dan uang yang Anda dapati di sana akan Anda berikan kepada saya semuanya?" "Ya, itu sudah saya janjikan dan janji itu akan saya pegang teguh. Anda ialah putera anak saya dan ahli waris saya satu-satunya. Orang yang bijaksana harus memperhitungkan segala-galanya. Sungguhpun serangan itu sama sekali tidak membahayakan, namun selalu ada kemungkinan bahwa saya akan kena oleh peluru yang menyasar. Dalam hal yang demikian maka bedil-bedil ini akan menjadi milikmu. Jika orang lain yang menjaga, mungkin juga senjata-senjata ini tiada akan jatuh ke tanganmu sekiranya aku tewas. Howgh!" Mendengar keterangan itu Ik Senanda tidak ragu-ragu lagi. Segera ia menyatakan kesediaannya untuk tinggal menjaga benda-benda yang sangat berharga itu. Kemudian Mustang Hitam mengadakan perundingan dengan beberapa orang prajurit yang terkemuka, di antaranya Kita Homascha yang di Firewood mengaku bernama Juwaruwa. Setelah perundingan selesai maka orang-orang Comanche berangkat ke arah Firewood melalui jalan yang ditempuhnya ketika mereka datang kemari. Edit & Convert: zhe (zheraf.wapamp.com) http://www.zheraf.net Bersambung ke jilid II